welcome to the page

welcome to the page

Selasa, 31 Desember 2013

Cerita Di Kala Hujan (Part 3)

hujan belum tiba, tapi matahari enggan menampakkan silaunya. seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya, aku berkeliling kompleks untuk memantau pekerjaan mereka. progress yang cukup baik, pekerjaan mereka juga semakin meningkat. dalam hati ada kepuasan tersendiri. ini akan jadi hadiah akhir tahun yang menyenangkan. aku tersenyum kecil lalu perlahan mempercepat laju motorku.

tapi sayang, kegembiraanku tak berlangsung lama. saking bahagianya, aku lengah dan kurang memperhatikan jalan. mendekati persimpangan, aku lupa membunyikan klakson dan tidak menurunkan kecepatan motorku. akibatnya, tak terelakkan lagi, sebuah motor dari arah kiri melaju sama kencangnya dan menabrakku dari samping. spontan aku menginjak rem dalam-dalam, tapi terlambat. terlanjur terjadi benturan yang cukup keras. kurasa sang pengendara motor itu juga tak sempat menginjak remnya. aku tidak sampai terpental, tapi ternyata motor kami malah saling berkait. aku kaget, kemudian langsung menoleh ke arah sang pengendara motor itu. ternyata laki-laki. ia lantas membuka helmnya dan langsung memelototiku.

"eh mbak, kalo bawa motor tuh hati-hati!"

"mas nya juga gak hati-hati!"

"mbak, bisa bawa motor gak sih?!"

"lho, trus kalo gak bisa bawa motor, itu tadi saya ngapain?"

"mbak ini jangan-jangan SIMnya nembak ya?"

"emang mas nya ini lulus tes apa? paling nembak juga!"

"eh mbak, udah salah masih ngotot!"

"sekarang coba lihat posisi motor kita, ini siapa yang nabrak siapa?"

"kalo mbak gak ngebut, gak mungkin saya nabrak!"

"lho, emang mas nya gak ngerasa ngebut ya?"
aku dan sang pengendara motor itu terlibat dalam adu mulut hebat. tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang mulai menontoni kami yang sedang beradu argumen. tidak ada salah satu dari kami yang mau mengalah, tak ada yang mau disalahkan. padahal baik aku maupun pengendara motor itu sama-sama salah. tapi itulah manusia, selalu merasa paling benar. manusiawi kan?

sepuluh menit berlalu tanpa ada penyelesaian. sakit sampai tak kurasakan lagi. aku dan pengendara motor itu terus saja berdebat. sampai akhirnya ada seseorang yang datang berusaha menengahi. dan tak pernah kuduga, kau yang kebetulan lewat di lokasi tempat kejadian perkara, memilih mampir dan menjadi pahlawan untuk menyelesaikan semuanya.

"sudah mas, kalau ribut begini terus gak akan selesai. gini aja, mending mas bawa motor mas ke bengkel depan itu, nanti saya perbaiki. saya montir di sana. mas tenang aja, gak usah bayar, biar nanti saya yang tanggung biayanya."

"gak usah sok jadi pahlawan sama mbak ini. dia salah, dia yang gak liat-liat lagi. pokoknya dia harus tanggung jawab."

"lho, saya kan udah menawarkan bantuan, mas. saya udah mau bertanggung jawab memperbaiki motor mas secara gratis lho. lagian mas apa gak kasihan? dia ini cewek, masak mas tega sih?"

"kamu ini, kok mati-matian belain dia sih? emang kamu siapanya dia? sok kepahlawanan segala!"

"saya kakaknya. kenapa? salah kalau saya bela adik saya? sudah mas, sekarang mas tinggal pilih, saya perbaiki motornya secara gratis, atau mas pulang dengan motor yang babak belur begitu?"

"hmmm...."

"jangan kelamaan mikir, sebelum saya berubah pikiran. kalau mas setuju, silahkan bawa motor mas ke bengkel di depan situ, nanti sore bisa mas ambil lagi."

"okelah..."
aku hanya terdiam menyaksikan peristiwa barusan. tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirku. masih tak percaya, kau datang, kau mengaku sebagai kakakku, dan membelaku, bahkan rela tidak dibayar demi menanggung kesalahanku. padahal baru setengah bulan yang lalu kita saling bercerita tentang tempat tinggal kita (baca: baru mulai akrab). hey, kau, tolong tampar aku, aku tidak sedang bermimpi kan?

"hey, kamu gak papa?"

"eh? iya kak, gak papa..."

"bohong! itu kenapa?"
kau menunjuk ke arah dengkul kiriku. astaga! ternyata berdarah, masih mengalir cukup deras. anehnya, tadi aku tidak merasakan apa-apa. tapi setelah kulihat darahnya, barulah aku merasakan sakit yang luar biasa.

"ayo ikut aku, kita ke klinik."

"motorku?"

"aku udah hubungi temenku, bentar lagi dia kesini, biar dibawa ke bengkel juga."

"makasih ya kak... jadi gak enak, ngerepotin..."

"udah gak papa. ayo jalan sekarang."
lalu kemudian kau memboncengku menggunakan motormu, kau menemaniku ke klinik. di sepanjang perjalanan menuju klinik, kau kembali menjadi dirimu yang diam. tak sepatah kata pun terucap. biasanya aku akan memulai percakapan, tapi kali ini aku memilih untuk diam karena harus menahan sakit. setiba di klinik pun kau tetap diam. kau hanya memandangi aku yang sedang meringis kesakitan ketika perawat mengobati lukaku. bahkan dalam perjalanan mengantarku pulang pun kau masih tetap diam. sumpah, aku benci keadaan ini. akhirnya aku tak tahan dengan "kediaman" ini. aku memutuskan untuk memulai percakapan (lagi dan lagi, seperti biasa).

"kak, terima kasih ya."

"iya, sama-sama."

"malem ini istirahat aja ya kamu, gak usah begadang-begadang."

"begadang? begadang apa?"

"kamu lupa? ini kan malam pergantian tahun..."

"eh, iya ya?"

"makanya jangan keasyikan kerja, sampe gak tahu tanggal lagi..."

"hehee..."
tolong tampar aku lagi, ini nyata kan? ayo, cubit aku....

"aaaw..."

"kenapa? sakit lagi ya?"

"iya kak...."

"tahan ya, bentar lagi sampe..."

"kak..."

"iya, kenapa?"

"gerimis, bentar lagi mau hujan..."

"yah, kalo hujan terpaksa kita berteduh dulu...."

"iya kak..."
kau mengajakku ke salah satu ruko di tepian jalan, kau kemudian memarkirkan motormu di teras ruko yang tertutup. sengaja kau mencari ruko yang tertutup agar bisa memarkirkan motor lebih leluasa. so sweet, ternyata kau sengaja ikut memarkirkan motor di tempat teduh agar aku bisa tetap duduk. ya ampun, aku jadi salah tingkah. dan ajaib, begitu kau selesai memarkir motor, hujan turun dengan lebatnya. kau langsung tersenyum memandangku.

"kenapa kak? kok ketawa?"

"Tuhan baik ya, pas banget kita sampe sini baru turun hujan."

"hujan lagi kak..."

"iya... hmmm, nanti sampe rumah, istirahat ya, biar cepat sembuh..."

"eh?"

"iya, biar nanti jadi kondangan bareng... hehehee..."

"owalah... iya kak, iya...."
*******************

hujan selalu punya cerita...
kau dan aku, kita...
selalu bertemu saat hujan tiba...
ada apa...??
apakah hujan memang takdir kita...??

Cerita Di Kala Hujan (Part 2)


selalu ada cerita di kala hujan...

tadi siang hujan lagi, dan lagi-lagi harus terperangkap di satu keadaan yang tidak mengenakkan. aku yang baru saja selesai membeli minuman kaleng dari minimarket di persimpangan jalan, tidak bisa kembali ke tempat kerja karena hujan yang mengguyur secara tiba-tiba. sementara aku tidak membawa helm, jaket, atau apapun yang bisa kugunakan untuk menutupi kepala. dan akhirnya aku terpaksa berdiri di teras minimarket itu sampai hujan mereda.

tak ada bangku, tak ada gardus, tak ada apapun yang bisa dijadikan tempat duduk. sementara kakiku mulai pegal. akhirnya minuman kaleng yang kubeli itu segera kuhabiskan, kemudian aku menduduki motor milik salah satu karyawan minimarket itu. persetan dengan mereka, yang penting aku bisa duduk. anehnya, kenapa aku hanya sendirian? tidak adakah orang lain yang berbelanja di minimarket ini? dan sialnya, aku mulai kedinginan. aku bersedekap, angin mulai menggoyahkanku, aku semakin mempererat dekapanku.

"udah tahu mau turun hujan, kok gak pake jaket sih?"
tiba-tiba ada seseorang yang menangkupkan jaketnya ke punggungku. suaranya, sepertinya aku kenal. familiar. sangat familiar. suara yang sama, yang terakhir kudengar ketika sama-sama terjebak di dalam mobil itu.

"kakak?"
"kaget gitu..."
"iya, hehee... kirain tadi cuma aku yang belanja di sini."
"aku udah liat kamu dari tadi, tapi kamu gak sadar..."
"lagian kakak gak manggil sih, mana aku tahu..."
"iya juga..."
dan lagi, sesaat kemudian sunyi. hanya terdengar suara hujan yang semakin lama malah semakin deras, deru angin juga menambah dingin suasana. kau masih berdiri di sebelahku, padahal kau bisa saja meninggalkanku karena kau juga mengendarai motor. tapi kau malah menangkupkan jaketmu di punggungku, padahal kau juga kedinginan. ah, seperti sinetron. tapi tidak, ini nyata.

"sini kak, merapat..."

kau malah bengong...

"eh, malah bengong, sini... kakak kedinginan kan? ini, masukin tangannya ke kantong jaket ini... jaket kakak anget kok..."

kau tersenyum, entah karena malu atau salah tingkah. tapi akhirnya mendekat juga. kau memasukkan tangan kananmu ke kantong jaketmu yang sebelah kiri, sedangkan tangan kirimu kau masukkan ke kantong celana. lagi dan lagi, kau diam lagi. kupikir setelah kita saling mengenal, kau akan sedikit lebih "bawel" dari biasanya. tapi ternyata tak ada pengaruhnya. kau lebih suka menikmati keadaan yang semakin dingin dalam kebisuan ketimbang menghangatkan diri dengan celotehan tak bermakna. baiklah, sepertinya harus aku yang memulainya lagi.

"kakak diundang ke resepsi pernikahan anaknya pak bambang?"
"iya... kamu juga?"
"iya, aku juga..."
"oooh..."
"hmmm, nanti kakak pergi sama siapa?"
"paling sama kak nanang."
"oooh, berdua sama kak nanang ya?"
"iya..."
ah, dasar aku bego. jelas saja kau pergi dengan nanang, dia kan sepupumu, rumahnya bersebelahan dengan rumahmu, dan dia juga satu pekerjaan denganmu. jadi sudah pasti kalian akan pergi bersama. "bodoh. sudahlah, jangan berharap dia akan mengajakmu..." bahkan hatiku menyuruhku begitu.

"kamu pergi sama siapa?"
"belum tahu kak. pengen nitip amplop aja, tapi gak enak, pak bambang baik banget sama aku."
"ya udah, bareng aja."
"lho, katanya tadi kakak bareng kak nanang?"
"iya, emang bareng kak nanang, tapi bawa motor masing-masing. gitu."
"ooooh... gitu..."
"jadi gimana? mau bareng?"
"hmm, boleh deh..."
"nanti aku jemput kamu... tenang, 5 menit sampe, aku udah tahu rumahmu, ternyata emang deket banget rumah kita...hehehee..."
oke, kali ini sepertinya kau mulai sedikit "melumer". sudah mulai berani "nge-modus". yah, entah itu hanya sekedar modus atau benar-benar tulus. yang pasti, selalu ada pelangi sehabis hujan...

Senin, 16 Desember 2013

Untuk Dikenang...

tepat pukul 1.00 dini hari, tapi mata ini belum juga ingin terpejam, ia masih gagah terjaga menatapi layar datar di depannya... ia masih belum mau meninggalkan kesunyian, padahal sebentar lagi fajar akan tiba...

perlahan, sayup-sayup, kuputar musik kesayanganku, kudengarkan lewat headset agar tidak mengganggu tidur yang lain. sesaat kuterpejam sambil meresapi bait demi bait lirik lagu ini. ngilu. iya, rasanya ngilu. tidak berdarah memang, namun nyerinya sangat nyata terasa.

pernahkah kau merasakan rindu yang menyerang tiba-tiba, dan bahkan untuk mengungkapkannya pun kau tak tahu harus kemana? iya, begitulah rasanya. hanya bisa belajar untuk menahannya. namun sepertinya saat ini rasa rindu itu tak terbendung lagi, kubiarkan emosi ini terus terbawa, seiring lagu mengalun pelan...

Ingat aku saat kau lewati, jalan ini setapak berbatu....
Kenang aku bila kau dengarkan lagu ini terlantun perlahan...

Barisan puisi ini adalah yang aku punya,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Ingat aku bila kau terasing dalam gelap keramaian kota...

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Doakanlah aku malam ini sebelum kau mengarungi malam...

Barisan puisi ini adalah yang aku punya,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...
Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Jumat, 13 Desember 2013

Cerita di Kala Hujan...

Langit mendung, dan hujan masih terus mengguyur bumi...

Waktu itu pagi menjelang siang, tapi matahari masih betah bersembunyi dibalik hujan. Kau datang menghampiri si Tuan, karena si Tuan mengajakmu menemaninya pergi ke suatu tempat, entah kemana. Kebetulan aku ingin pergi keluar, menuju ke persimpangan depan jalan. Hujan membuatku enggan untuk mengendarai motorku sendiri, dan si Tuan pun mengizinkan aku menumpang di mobilnya hingga di persimpangan.

Jujur, aku grogi karena harus satu mobil denganmu. Padahal kau terkenal sangat pendiam, tapi entah kenapa, sudah satu tahun kita terlibat di satu pekerjaan yang sama, masih saja aku belum bisa mengendalikan degup jantungku tiap kali harus berhadapan denganmu. Tapi apa boleh buat, ini satu-satunya jalan agar aku bisa sampai di persimpangan depan. Sekuat tenaga aku berusaha menahan rasa grogi, jangan sampai kau mendengar suara degup jantung ini.

Sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Kita terjebak di dalam satu ruang yang cukup sempit, hanya berdua. Iya, kita terkurung dalam mobil si Tuan. Si Tuan pergi keluar karena ada yang tertinggal. Kita berdua hanya terdiam. Ada jeda waktu yang cukup lama, dan kita malah membiarkan waktu itu lewat begitu saja, tanpa ada sedikitpun niat untuk mengisinya. Tik, tik, tik, waktu berdetik. Tuk, tuk, tuk, suara tetesan hujan mengguyuri atap mobil. Sementara si Tuan masih belum juga kembali, ia meninggalkan kita berdua dengan mesin mobil yang masih menyala. Kau masih saja diam, malah memilih sibuk membalik-balik halaman koran yang sudah kadaluwarsa.

Aku pun mulai jengah, tak tahan dengan situasi ini. Aku tak biasa duduk diam berlama-lama hanya berdua namun tanpa suara. Akhirnya kuputuskan untuk memulai angkat bicara.

"Kak, Kakak tinggal dimana sih?"
"Sukarela."
"Oh, Sukarela, deket rumahku berarti Kak."
"Iya, waktu itu aku pernah lihat kamu di Naskah. Kamu tinggal di Naskah kan? Di mananya?"
"Di Perintis Kak. Waktu itu aku juga pernah lihat Kakak pas ada yang nikahan. Waktu itu aku panitia meja kado. Mau manggil Kakak tapi takut salah orang."
"Kapan?"
"Udah lama sih, kalo nggak salah pas awal tahun."
"Awal tahun ya? Hmm, nikahan siapa ya?"
"Itu lho, yang tentara itu, Mas Agus."
"Oh, iya, iya, inget. Eh iya, kamu alumni SMP 40 bukan sih?"
"Bukan Kak. Emang dulu Kakak di SMP 40?"
"Iya, aku di 40."
"Kakak tamat tahun berapa?"
"Hmm, 2006 kalo gak salah. Iya, 2006."
"Itu tamat SMP?"
"Iya."
"Wah, berarti tamat SMAnya tahun 2009 ya? Sama kayak aku dong."
"Iya, tamat SMAnya 2009."
"Eh, tunggu dulu, tapi Kakak lahir tahun berapa?"
"Tahun '90."
"Oh, lebih tua setahun dari aku."
Tanpa terasa kita sudah mengobrol banyak. Sampai akhirnya si Tuan datang dan memecah obrolan kita. Kita kembali saling diam, tak lagi bersuara, seperti memang obrolan kita sudah habis sampai di situ saja.

Hei, tak kusangka kau begitu ceria ketika kuajak berbicara. Gayamu polos seperti anak kecil. Apalagi ketika kau bertanya, "Kamu alumni SMP 40 bukan?". Kau memegang jok sandaran tempat dudukku sambil memasang tampang antusias, seperti anak kecil yang ingin tahu sesuatu. Kau tahu, senyummu sangat manis waktu itu. Aku masih sangat ingat ekspresi itu.

Aku seperti menemukan sisi lain dari dirimu. Inilah dirimu yang sesungguhnya. Yang selama ini terlihat pendiam ternyata sangat suka bercerita. Yang kukira pendiam ternyata punya senyum cerah dan wajah ceria. Ah, sayang sekali waktu berjalan begitu cepat. Andai masih ada waktu untuk kita, pastilah akan ada banyak cerita di antara kita. Ingin kukatakan, "Hei, Kakak, ternyata kita bertetangga."


"Yang lucu itu yang polos seperti anak-anak, bukan yang kekanak-kanakan..." -Jacob-

Jumat, 22 November 2013

Apa Yang Anda Pikirkan? (Litani Tanda Tanya)

apa yang anda pikirkan?
pertanyaan sederhana yang akan selalu kita temui setiap kali kita masuk ke akun jejaring sosial ini...
tapi akan ada banyak makna dan cerita di baliknya...

apa yang anda pikirkan tentang manusia lainnya?
apakah dia lebih baikkah?
ataukah dia lebih burukkah?

apa yang anda pikirkan tentang makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna?
apakah dia selalu sempurna?
apakah dia tak akan pernah punya salah?
ataukah justru anda berpikir hidup anda selalu benar dan hidupnya selalu salah?
sehingga anda berhak menghakiminya dan memvonisnya?

lalu, apakah anda pernah berpikir tentang apa yang mereka pikirkan tentang anda?
apakah anda pernah berpikir bila suatu saat apa yang anda pikirkan tentang mereka, juga adalah hal yang mereka pikirkan tentang anda?
coba renungkan, mari pikirkan bersama...
kita semua sama, sama-sama makhluk Tuhan yang paling sempurna,
jadi jangan cacati kesempurnaan itu dengan pikiran-pikiran yang tidak semestinya...


*hanya untuk orang-orang yang mengaku masih bisa berpikir*

Sabtu, 09 November 2013

Tentang Waktu...

Ketika kuberjalan sendiri, menyusuri dinginnya malam dalam ramainya kota ini, seketika kuteringat sesuatu. Tiba-tiba kuteringat tentang kalimat andalanmu, "Biarlah waktu yang akan menjawabnya...."

Iya, kau sangat suka mengatakan hal itu. Segala sesuatu yang kauhadapi, yang kaujalani semuanya kaubiarkan mengalir seperti air, mengikuti arus. Kauserahkan semuanya sepenuhnya kepada Sang Waktu. Kau begitu yakin dan percaya bahwa waktu yang akan menjawab segalanya.

Tapi bagaimana jika Sang Waktu tak ingat kata-katamu?
Bagaimana jika Sang Waktu membisu?
Bagaimana jika Sang Waktu tak mau tahu?
Bagaimana jika Sang Waktu lupa dengan janji-janjimu?
Dan bagaimana jika Sang Waktu pergi dan tak lagi kembali?
Masihkah kau percaya padanya?
Bagaimana jika segala yang pernah kau percayakan padanya tak terjawab juga?

Waktu. Ia selalu kejam, apa yang sudah terjadi tak akan pernah diulangnya lagi. Apa yang sudah diambil tak akan pernah dikembalikannya lagi. Namun Sang Waktu cukup adil. Cepat atau lambat, waktu memang akan membuktikan segalanya...

Lalu, tentang kita, yang juga kaupercayakan pada waktu, aku juga telah serahkan sepenuhnya pada Sang Waktu... Akan jadi apa kita ke depannya, biarlah sekarang kita jalani saja, biarkan mengalir seperti air, tetap berusaha sambil berdoa, dan biarlah waktu yang akan menjawab semuanya...

Jumat, 08 November 2013

Surat Cinta Mahasiswa Tingkat Akhir...

Hai, sayang...
Maafkan aku yang sempat lama meninggalkanmu. Ini semua salahku, aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang kurang berguna, sampai-sampai aku melupakanmu. Apalagi karena sempat mengalami insiden kecelakaan konyol itu. Aku jadi tidak leluasa bergerak, mobilitasku terganggu karena kakiku yang sakit tak kunjung sembuh. Jadi, aku mohon maaf padamu. Maaf beribu maaf, maaf aku mengabaikanmu.

Sayang, semalam aku sudah berniat berdamai denganmu lagi. Aku ingin kita baikan, aku ingin kita balikan. Aku ingin hubungan kita kembali membaik seperti dulu lagi. Aku ingat bagaimana dulu jatuh bangunnya aku memperjuangkanmu. Bodohnya, setelah aku mendapatkanmu, aku malah menyia-nyiakanmu. Maaf ya sayang... Aku menyesal... Aku tak ada apa-apanya tanpamu.

Sayang, aku tidak akan berjanji apa-apa. Apalagi berjanji untuk setia padamu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga, seluruh jiwa raga, sehabis-habisnya, demi memperjuangkanmu hingga akhir. Kamu tahu, sayang? Mama sudah sering menanyakan kamu. Aku malu sayang, aku malu kalau Mama tahu kita sedang "marahan". Jadi, sayang, izinkanlah aku kembali berdamai denganmu. Akan kubuktikan lagi perjuanganku. Jika kau mau memaafkanku, malam ini, kita berjumpa di tempat dan jam yang sama. Tunggulah aku, bila kita berjumpa, segera akan kupeluk dirimu. Kita selesaikan semuanya, karena ternyata aku merindukanmu....

dari aku yang dulu memperjuangkanmu
teruntuk kamu, SKRIPSIku...

Kamis, 07 November 2013

Rambo dari Pasundan (Pria di Perbatasan)...

Putih, bersih, begitu kumelihatmu. Wajahmu mirip dengan kedua kakakmu, namun tidak dengan fisikmu. Jika dibandingkan dengan kakakmu yang pertama, badanmu lebih gagah, kekar, tegap, dan berisi. Jika dibandingkan dengan kakakmu yang kedua, kulitmu lebih cerah, putih, dan bersih.

Iya, itulah kamu. Kamu penduduk asli dari pulau seberang. Kamu tinggal di daerah perkebunan dekat dengan pegunungan. Cuaca di sana yang membuat fisikmu seperti itu. Jika kau bersebelahan denganku, perbandingannya sangat kentara, sangat jelas terlihat jauh berbeda. Anehnya, bekerja di daerah dataran rendah nan panas seperti ini tidak menghanguskan kulitmu. Kau tetap saja cerah.

Melihatmu berada di lapangan, berdiri di tengah-tengah, di antara mereka, kau seperti matahari. Tapi sayangnya, kau matahari yang dingin. Jarang kulihat kau tersenyum di antara mereka. Wajahmu selalu serius. Apakah memang selalu seserius itu? Atau hanya kebetulan saja, setiap kulihat kau sedang serius? Hmm, kurasa memang alasan kedua. Karena faktanya, ketika kita sedang bercengkerama berdua, sering kulihat kau tersenyum, dan tak jarang kau pun tertawa. Lumayan banyak cerita yang kita bagi, lumayan sering kita menghabiskan waktu sampai pagi.

Aku tahu, kau lelah. Tapi  setiap pagi kau selalu berusaha tetap cerah. Pekerjaanmu menguras tenaga, fisikmu terlihat baik-baik saja tapi suaramu tak bisa berbohong. Kau lelah, kau lelah, dan kau lelah. Mungkin kau terlihat gagah, tapi sebenarnya kau mulai lemah.

Kini, sudah jarang kita bertemu. Biasanya kita berjumpa di perbatasan. Aku di sini dan kau di seberang sana. Terakhir kali kita berjumpa di perbatasan itu. Kulihat wajahmu sendu. suaramu tak merdu, sorot matamu sayu. Kau sakit. Iya, kau sakit. Kau lelah. Bekerja dari pagi hingga malam tanpa jeda. Melihatku, kau berusaha tersenyum manis, tapi itu malah membuatku miris. Senyummu yang terakhir kulihat itu, yang paling kuingat. Senyum kelelahan.

Sementara itu, dia, wanitamu, dia yang di seberang sana, entah apakah dia tahu tentang keadaanmu. Aku tak tahu itu. Yang aku tahu, dia selalu menunggu telepon darimu. Iya, dia, wanitamu. Andai dia melihat keadaanmu, andai dia tahu bagaimana pekerjaanmu, dan yang terpenting, andai dia ada di dekatmu, di sampingmu, di sisimu.

Rambo, oh Rambo... Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya terselip namamu sebagai salah satu nama yang kusebut dalam doa. Semoga Tuhan selalu menjagamu, semoga Tuhan selalu menguatkanmu, dan semoga kau selalu baik-baik saja di seberang sana.

Aku tak pernah lagi menunggumu di perbatasan itu, dan kau tak lagi berkewajiban menemui aku di perbatasan itu. Untuk sementara, tugasku sudah selesai. Hanya menunggu, kapan lagi aku menerima tugas mulia itu. Hanya menunggu, kapan lagi aku harus berdiri di perbatasan, menunggu kedatanganmu.


untuk si Rambo dari Pasundan
apa kabarmu, kawan?

Rabu, 06 November 2013

Tentang Keserakahan, Tentang Arogansi...

Ini kutulis ketika panas melanda, dan pikiran kembali tertuju pada hal itu. Tentang sesuatu yang kulihat kemarin, tepat di depan mataku. Kusaksikan sendiri dengan mataku, kudengar sendiri dengan telingaku, dan kurasakan sendiri dengan hatiku.

Ini tentang keserakahan, tentang ketamakan, tentang keegoisan, tentang arogansi manusia. Semakin berkecukupan manusia, maka semakin serakahlah dia. Seolah-olah segala sesuatunya tak pernah cukup. Selalu saja kurang, kurang, dan kurang... Selalu menginginkan yang lebih, hak orang lain dirampas tanpa perasaan malu ataupun bersalah. Mungkin inilah yang dilakukan oleh para koruptor. Tak ada sedikitpun rasa takut. Semakin kaya malah semakin merasa kurang. Bahkan hukum pun bisa dibeli dengan uang mereka yang seperti tak pernah ada habisnya. Kasih Uang Habis Perkara, itu azas mereka. Segala sesuatunya jadi mudah, uang yang berbicara.

Berbanding terbalik dengan rakyat kecil. Mereka hidup benar-benar pas-pasan. Uang yang tak seberapa itu di-press sedemikian rupa, diatur sebisanya, secukup-cukupnya untuk mencukupi keutuhan sehari-hari dalam rentang waktu tertentu. Tak sedikitpun terlintas di benak mereka untuk berbuat curang. Meski sempat terlintas pun, tak sampai hati berniat untuk melakukannya. Terlalu beresiko menghadapi hukum di negeri ini. Terlalu dibuat-buat. Mereka tak punya biaya untuk memperlancar hukum dan segala urusannya. Jadi, mereka memilih bertahan saja dalam keterbatasan yang mereka punya.

Kadang terlihat tak adil, kadang terlihat seolah-olah Tuhan tidak turun tangan. Sebenarnya bukan begitu. Sebenarnya hati manusia terlalu mudah tergoda oleh rayuan setan. Padahal Tuhan sudah membuat batasan, tapi manusia malah melanggarnya. Jadi, begitulah keadaannya. Godaan setan memang terlihat lebih manis, namun pada akhirnya selalu berakhir tragis.


didedikasikan untuk para calon koruptor
koruptor kelas teri
sekecil apapun,
korupsi tetaplah korupsi...!!!

Selasa, 05 November 2013

Tuan, Izinkan Aku Mencintaimu Sebagai Saudara...

Teruntuk Tuan yang di seberang sana...

Hai Tuan, apa kabar?
Sepertinya sudah lama ya kita tidak berjumpa. Ah, tidak, bukan lama tak berjumpa, hanya sudah lama kita tidak berkomunikasi. Komunikasi, iya, komunikasi, tentang apapun, tentang segala hal. Setahuku dulu kita tidak pernah kehabisan topik pembicaraan, bahkan hal sepele pun bisa jadi bahan obrolan.

Tuan, siang ini kita berkomunikasi lagi. Yah, walau hanya sekedar lewat chatting, tapi ternyata memang sudah lama sekali kita tidak berbicara. Berawal dari obrolan santai, dibumbui dengan candaan garing, lalu kemudian pembicaraan sedikit serius, setelah itu obrolan kembali menjadi tidak karuan, dan berakhir begitu saja. Masih sama seperti dulu, kau pergi tanpa pamit. Off tiba-tiba, menghilang begitu saja.

Hei Tuan, tiba-tiba tulisanku stuck ketika terdengar bunyi notifikasi di facebookku. Ternyata kau online lagi dan membalas pesanku. Tulisanku terhenti karena bingung harus menulis apa lagi. Tuan, kadang aku bingung, dan ini bukan terjadi yang pertama kali. Berkali-kali kita melewati masa "kosong". Kita seperti menghilang, tanpa ada berita, tanpa ada cerita. Kita tak saling bertegur sapa, seperti hilang begitu saja, seperti tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kemudian, entah apa, entah siapa yang memulai, dan entah kenapa, ketika tersadar ternyata kita sedang berkomunikasi... Berkali-kali kita berusaha pergi, dan berkali-kali kembali lagi... Ah, Tuan, itu hanya perasaanku saja, atau kau juga merasakannya?

Tuan, aku mengutip lagu salah satu grup band Indonesia, "seseorang di sana telah memilikimu... aku kan berdosa bila merindukanmu..." Tapi apakah salah jika memang aku merindukanmu? Hanya sekedar merindukanmu, bukan untuk memilikimu, tak lagi terlintas di benakku untuk memilikimu, Tuan... Tidak lagi. Ini murni hanya rindu, rindu masa-masa dulu, ketika aku masih begitu terobsesi denganmu. Iya, dulu kau menyebutku hanya terobsesi denganmu. Kau tak paham rasa itu, Tuan, karena mungkin kau tak merasakannya.

Tuan, di seberang lautan sana ada hati yang menaruh harapannya padamu. Aku tak mengenalnya, tapi kurasa kau sangat mengenalnya. Dia mengikat hatinya padamu, dan mungkin kau pun menaruh besar harapan padanya. Kuharap kali ini memang benar adanya. Kuharap kau tidak mempermainkannya. Meski ada sedikit rasa kecewaku padamu, tapi ini tak sesakit dulu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu Tuan, semoga kau dan dia bahagia selalu.

Tuan, yang perlu kau tahu, sampai sekarang masih terekam jelas cerita kita yang telah lalu. Entah, mungkin kau tak lagi mengingatnya. Tapi bagiku, itu adalah salah satu komponen penyusun sejarahku, secuil cerita yang akan rancu bila dibuang begitu saja. Jadi, akan tetap kusimpan dengan rapi di hati kecil yang sudah tidak berbentuk ini.

Tuan, aku salut padamu, kau tidak membenciku, kau juga tidak menjauhi aku. Sikapmu padaku masih sama seperti dulu, seperti tidak terjadi apa-apa, masih biasa-biasa saja. Jadi, kalau demikian adanya, buat apa aku yang harus merasa gelisah? Sepertinya kau nyaman kita begini. Sepertinya lebih baik kalau kita tetap begini. Begini lebih bebas, begini lebih tak terbatas. Begini, kita bisa seperti saudara, bisa lebih terbuka apa adanya. Dulu memang kau membuatku jatuh cinta, tapi sepertinya kini cintanya berbeda. Tuan, kini izinkan aku mencintaimu sebagai saudara. Ajari aku mencintaimu sebagai salah satu bagian dari keluarga...

Tuan, tanpa terasa sudah banyak yang kutulis tentangmu hari ini. Ini spontanitas, Tuan. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan. Maaf kalau kau risih, tapi ini hanyalah ungkapan hati. Ungkapan hati yang hanya bisa kutahan bila sudah berhadapan denganmu...


dari aku
yang diam-diam masih mengingatmu... 



Kamis, 31 Oktober 2013

Aku Bukan Merindukan Arjuna... Aku Merindukan Bima...

siapa arjuna?
sesosok tampan rupawan, pemikat hati setiap wanita...
gagah perkasa, pejuang di medan Kurusetra...
pemimpin perang Bharatayuda...
tapi aku tak butuh dia...

siapa arjuna?
sesosok tokoh sentral kisah Mahabharata,
belahan jiwa Srikandi, sang Pemanah...
tapi aku tak jatuh cinta padanya...

aku disini, bukan merindukan Arjuna...
aku disini, merindukan Bima...
sosok besar tinggi perkasa yang kucinta...
Bima, sang kepala keluarga...

Bima, Arimbi-mu masih setia dalam cintanya padamu...
Bima, lihat anak-anakmu, disini merindu...
Bima, aku merindukanmu...

Rabu, 30 Oktober 2013

A Song For My Best Bro...

TAK PERNAH PADAM...

Senyumanmu masih jelas terkenang...
Hadir selalu, seakan tak menghilang dariku, ooh... dariku...
Takkan mudah kubisa melupakan segalanya,
yang telah terjadi di antara kau dan aku,
di antara kita berdua...

Kini tak ada terdengar kabar dari dirimu,
kini kau telah menghilang jauh dari diriku...
Semua tinggal cerita antara kau dan aku...
Namun satu yang perlu engkau tahu,
api cintaku padamu tak pernah padam...

Kehilangan...

Kehilangan...

Apa definisi dari kehilangan? Siapa yang sanggup membuatmu merasa kehilangan? Setiap orang punya cerita masing-masing tentang kehilangan. Begitu juga aku dan mereka, teman-temanku.

Kami kehilangan seseorang. Manusia itu, makhluk manis, sesosok tinggi semampai dengan senyumnya yang khas. Teman-teman bilang, dia punya jargon tersendiri. "Hemmmm..." begitu katanya. Gingsulnya itu membuatnya semakin menawan.

Tapi dari kesemuanya, bukan itu point-nya. Sosoknya yang sempat lama menghilang, lalu kembali muncul, seperti membawa sebuah perubahan. Semangatnya menular bagaikan virus influenza yang dengan cepat menyebar. Serta merta aku dan teman-teman menjadi makhluk yang gesit.

Namun di tengah semangat yang membara itu, tiba-tiba dia menghilang lagi. Kali ini pergi untuk selamanya. Kenapa? Kenapa? Kami semua terpana, dan terus-terusan bertanya, kenapa? Kenapa begitu cepat? Kenapa terlalu singkat? Kenapa harus dia? Kadang rasanya tidak adil. Kadang rasanya terlalu kejam. Tapi, seburuk-buruknya yang terjadi pada manusia, jika itu kehendak Tuhan, maka itulah yang terbaik dan terindah.

Jujur, rasanya masih tak percaya, rasanya seperti mimpi. Tapi aku dan teman-teman sadar, kami tidak boleh terlalu lama terpuruk. Kami tidak boleh terlalu lama bersedih. Dia tidak pergi, dia tidak benar-benar pergi. Ketika kita merasa kehilangan dia, bukankah itu artinya dia sudah berada jauh di dalam hati kita masing-masing? Fisiknya boleh pergi, jasadnya boleh mati, tapi semangatnya selalu ada di hati... ☺


dedicated for : CORNELIUS SEPDITO SUNU VIRHANA

"Saya memiliki dua tangan, satu untuk menolong diri saya sendiri dan satunya untuk menolong orang lain..."

Selasa, 29 Oktober 2013

Random Love...

kamu berhak mencintai dan menyayanginya...
tapi ingat, dia tidak berkewajiban membalas mencintai atau menyayangimu...
aku menyayanginya, tak berarti harus mendapat respon yg sama darinya...
aku berhak menyayanginya, tapi dia tak wajib membalas sayangku...
dan kamu, yg menyayangiku, terima kasih sudah menyayangiku...
itu hakmu, tapi aku tak wajib membalasnya dengan cintaku....
begitu kan?
hati tak bisa dipaksa kan?
iya kan?
jawab...!!!
*hahahaaa... aduuuh, apa ini?*

Jumat, 25 Oktober 2013

A Taste, Sebuah Rasa...??


kopi itu pahit,
gula itu manis,
cuka itu asam,
garam itu asin,
cabe itu pedas....
semua ada rasanya....


lalu ini apakah?
sebuah rasa jugakah?
rasa nyaman, rasa bahagia, rasa sedih, rasa kecewa...
rasa marah, rasa cemburu, rasa bangga, rasa terluka...

apakah hanya yang bisa dirasakan oleh panca indera saja yang bisa disebut rasa...??
mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit...
mereka panca indera...
lalu ini apa?
apa yang terselubung di dalam badan ini tidak disebut indera??
yang tersembunyi ini, apa?
yang paling bisa merasakan apa yang tidak dirasakan oleh indera lainnya,
apakah bukan indera?
yang dirasakan olehnya,
apakah bukan rasa...??

entah,
entah ini rasa apa...
yang kutahu, ini hanyalah sebuah rasa...

Bertahan dalam Abu-abu...

Karena aku tahu, memang ada sesuatu di balik tiap tatap matamu. Hanya saja, lagi-lagi terhalang sesuatu. Ada sesuatu yang sangat besar yang menghalanginya, hingga pada akhirnya hanya terhenti sebatas di tatapan mata dan sesungging senyuman saja. Tak perlu kau ungkapkan, tak perlu aku dengarkan, cukup hati ini merasakan, karena dari tiap tuturmu di setiap percakapan kita, dari situ aku merasakannya.



Dan tentang aku, biarlah juga kau hanya menerka-nerka. Bukankah selama ini kita bisa berjalan dalam abu-abu? Bisa tetap saling memperhatikan meski sedikit cahaya? Bila kita tetapkan kau hitam dan aku putih, maka semakin jelaslah semua, semakin nyata bahwa kita tidak akan pernah mungkin bisa. Kita sudah tahu apa yang bisa dan apa yang tak bisa dipaksa, karena kita memang tahu batasan kita, maka biarlah begini saja...






  25-10-2013, 11:22 WIB
  aku dan kamu,
  tersimpan satu cerita,
  mungkin terselip rasa...

*backsound : Your Guardian Angel - Red Jumpsuit Apparatus*

Rabu, 18 September 2013

Segelintir Kisah di Lapangan... (bisa dibilang "Wanita-wanita Hebat Part 2")


cerita ini berdasarkan fakta, bila terdapat kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, maka itu memang disengaja... :P :D
"ketika tiga wonder women harus jadi trio macan"
Rabu, 18 September 2013...

Hari ini begitu cerah, terlihat dari matahari yang terus menerus tersenyum tanpa peduli berapa banyak orang yang menggerutu karena senyumnya terlalu cerah. Mungkin bagi sebagian orang, matahari ini terlalu panas. Apalagi bagi para wanita eksekutif yang pekerjaannya hanya tahu bersolek, pasti takut dempul bedaknya luntur. Tapi hal itu tidak berlaku buatku. Walau aku wanita, tapi aku lebih suka matahari cerah seperti ini. Aku tak peduli kalau ia akan menggosongkan kulitku, ataupun melunturkan bedak tipisku, atau bahkan mungkin membuat hidungku mimisan. Yang penting, sekarang aku suka matahari yang cerah. Aku lebih suka berpanas-panas ria bersama ratusan kuli bangunan, operator alat berat, teman-teman logistik, dan teman-teman sesama pengawas.

Pada awalnya, aku tak pernah menyangka akan "terperangkap" dalam pekerjaan ini. Apalagi bila tahu akan berada di posisi ini, sangat jauh dari pikiran. Wanita-wanita waras manapun pasti akan segera menolak bila tahu pekerjaan yang ditawarkan padanya adalah sebagai "PENGAWAS LAPANGAN". Setiap hari kerjanya keliling proyek, dari blok yang satu ke blok yang lain, mengabsen semua kuli bangunan yang bekerja, mengabsen operator alat berat, mengawasi progres pekerjaan tukang, menerima barang orderan yang masuk, menghitung gaji tukang, membuat time sheet alat berat, membuat laporan bulanan progres pekerjaan, dan masih banyak lagi -yang bila kepala gudang atau project manager meminta tolong harus siap sedia-. Aku mungkin sudah gila. Dari sepuluh wanita, ada dua wanita yang kurang waras, dan aku-lah salah satunya. Oke, aku bukan satu-satunya. Di proyek ini ada dua "wanita gila" lainnya yang juga membaur dengan ratusan pria yang bekerja di lapangan. Aku meng-handle gudang blok E depan, Mbak Meli di gudang blok BC belakang, dan Mbak Novi di gudang blok DE belakang.

Jujur saja, di bulan-bulan awal aku bekerja, banyak hal yang mengganggu perasaan dan menimbulkan rasa risih. Mulai dari debu yang bertebaran (namun bila musim hujan tiba, debu itu bertransformasi menjadi lumpur yang menjijikkan), truk-truk besar yang mengerikan berlalu-lalang (namanya juga proyek gudang, wajar kalau isinya banyak truk besar dan kontainer), sampai ulah orang-orang proyek yang menjengkelkan (maklum, isi proyek kan pria semua, bisa dibayangkan bagaimana kelakuan mereka kalau ada wanita). Semua itu nyaris membuatku memilih untuk mundur. Tapi siapa sangka bila pada akhirnya aku bisa bertahan selama satu tahun? Iya, sekarang genap satu tahun sudah aku bekerja di proyek ini. Itu semua berkat "ilmu" yang diwariskan oleh Mbak Meli dan Mbak Novi. Mereka pun bisa bertahan lama bertahun-tahun karena "ilmu itu.

"Nggak susah kok Dek, nyantai aja... Cuekin aja gitu..."

"Aduh, tapi aku nggak tahan Mbak Mel, risih, takut... Gimana dong?"

"Udah Dek, kalo mereka ganggunya cuma lewat omongan mah nyantai aja, cuek aja. Selagi mereka nggak main tangan, kamu masih aman kok Dek. Iya kan Mel?"

"Iya Nov, lagian sejauh ini belum ada yang berani main tangan."

"Tapi Mbak Nov, Mbak Mel, Bapak yang satu itu lho, itu agak-agak. Tangannya mulai nakal. Nggak inget umur apa ya? Bercandanya kelewatan. Aku takut..."

"Oh iya, yang kemarin ya? Aku juga sempet liat sih. Gimana Mel?"

"Tenang aja, kemarin sore udah tak bilangin ke project manager, Nov. Bapak itu udah dapet peringatan, jadi kamu nggak usah takut lagi Dek."

"Yang bener Mbak Mel?"

"Iya Dek, tenang aja. Cuek aja, oke?"

"Kalo Bapak itu masih berani macem-macem, bilang sama aku dan Meli, biar kita berdua yang hajar..."

"Hehee, iya deh Mbak Nov, Mbak Mel, makasih ya..."

Kira-kira begitu percakapan kami setahun yang lalu waktu makan siang. Kalau jam istirahat, kami biasa makan siang bersama di kantin depan proyek. Sambil makan, kami biasa sambil bercerita, saling curhat, dan para Mbak mulai membagi "ilmu" mereka padaku.

Salah satu "ilmu" yang mereka wariskan padaku adalah yang tadi, ilmu CUEK. Mereka bilang, kerja di proyek ini kuping harus tahan, mulut harus bawel, dan otak harus lincah mikir. Satu lagi, hati harus tahan tikam. Agak hiperbola sih, tapi memang benar, mulut orang-orang di lapangan itu lebih pedas dari cabe rawit, lebih tajam dari samurai, dan lebih buas dari harimau. Kalau kupingku tak terbiasa dan hatiku gampang tersinggung, bisa dipastikan aku tidak bisa bertahan lama kerja di proyek ini.

Banyak suka dan duka yang terjadi di proyek ini. Di sini ibarat sebuah sekolah, sekolah terbuka, ini sekolah kehidupan. Inilah dunia kerja. Di sini aku banyak belajar, belajar mengaplikasikan apa yang kuterima di bangku kuliah, tapi di sisi lain aku juga belajar tentang kepribadian manusia. Di tempat ini berkumpul banyak manusia. Rambut boleh sama hitam, tapi hati siapa yang tahu? Beda kepala, beda pula pemikirannya. Dari Mbak Meli dan Mbak Novi lah aku banyak belajar. Mereka yang jauh lebih dulu berkecimpung di proyek ini, tak segan-segan mengajari aku banyak hal. Dan aku bersyukur bisa mengenal dan berteman baik dengan mereka. Walau usia mereka jauh di atasku, tapi mereka tidak sungkan denganku.

Kalau dipikir-pikir, Mbak Novi dan Mbak Meli sepertinya sama "gila"nya denganku, atau mungkin bahkan lebih gila. Buktinya dulu mereka mau-mau saja masuk di lapangan dan masih betah sampai sekarang. Kalau diurutkan dari yang paling gila, mungkin yang pertama Mbak Novi. Jelas, ia wanita yang paling awal bergabung di proyek. Sebelumnya belum ada satu wanita pun yang menjadi pemanis di tengah lapangan seluas itu. Sekarang Mbak Novi dipercaya menjadi bagian logistik di gudang DE belakang.

Lalu beberapa tahun kemudian, barulah Mbak Meli bergabung. Awalnya pun mereka tak saling mengenal karena ditempatkan di lokasi yang berjauhan. Mbak Meli termasuk wanita yang tahan banting. Bayangkan, dia wanita pertama yang bergelar "pengawas". Sebelumnya belum pernah ada pengawas wanita, dan akhirnya perjalanan selama tiga tahun membuahkan hasil. Sekarang Mbak Meli sudah dipercaya untuk menjadi kepala gudang di blok BC.

Lalu September 2012, ada seorang mahasiswi yang sedang cuti kuliah mencoba peruntungannya di salah satu proyek komplek pergudangan terbesar di Palembang itu. Hanya bermodal coba-coba, ia diterima di posisi sebagai administrasi kantor. Selang dua minggu, Big Boss memanggilnya dan memindahkannya ke bagian yang lebih sesuai. Karena basic-nya arsitektur, maka ia dipindahkan ke bagian lapangan. Mahasiswi itu tak lain adalah aku. Iya, aku, mahasiswi teknik arsitektur yang bermodalkan nekat masih tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan kuliahku yang tinggal sedikit lagi.

Bukan hal yang mudah bisa bertahan sampai saat ini. Sama seperti ketika bekerja di lapangan. Ketika panas terik, kita akan terpanggang dan lokasi proyek sangat berdebu. Ketika hujan, kita akan basah kuyup dan lokasi proyek jadi berlumpur dan licin. Dalam menjalani hidup ini, kita dituntut untuk fleksibel menghadapi segala situasi. Tidak boleh mengeluh, tetap tabah menjalani. Karena semuanya adalah proses menuju kedewasaan. Lagipula, setelah setahun bertahan di proyek ini, aku bukan saja hanya sekedar bekerja, tapi di sini aku menemukan satu keluarga. Mulai dari staf kantor, seluruh staf lapangan, para pemborong, para operator alat berat, kuli-kuli bangunan, supir-supir truk, kakak-kakak security, cece pemilik kantin, para pegawai RM. Padang, sampai pegawai Alfamart. Semua yang setiap hari kujumpai di proyek ini sudah seperti keluargaku. Di proyek ini aku seperti punya keluarga kedua. Berada di proyek ini, aku seperti berada di rumah sendiri.

Kembali ke dua wanita "gila" itu. Bagiku, mereka bukan sekedar teman, tapi juga sudah seperti saudara. Mereka wanita hebat... Walau sekarang sudah amat sangat jarang bisa makan bersama karena disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, tapi aku tidak pernah lupa menyapa mereka. Bagaimana pun juga, mereka berdua juga punya andil dalam eksistensiku di proyek ini.






thanks for all
it's dedicated for you all
PT GMS 1, PT GMS 2, PT GAS, CV Dwi Karya...
you are my family...
:) 

Senin, 09 September 2013

Roda Emas... 50 Tahun PMKRI Cabang Palembang...



sempat mati bukan berarti terhenti,
sempat terhenti pun tak juga berarti mati...
ibarat roda, mungkin kemarin harus berada di bawah,
ironisnya, ketika berada di bawah, roda kehabisan pelumas,
jadilah roda tak bergerak naik lagi...

entah berapa lama terhenti,
setelah mendengar kisah masa-masa keemasan yang terakhir,
rasanya seperti tak ada yang bisa dilakukan lagi,
setiap pergerakan dan usaha seperti tak direstui,
“pelumas” penggerak seperti tak pernah mencukupi...
entah apa yang salah...

namun kini, ketika diri ini hendak menarik diri,
terlihat ada percikan api...
mulai membakar, menggerakkan roda itu lagi...
perlahan tapi pasti, roda perlahan berputar ke atas lagi...

50 tahun bukan waktu yang sebentar kawan,
coba tengok kedua orang tua kita, berapa usia mereka?
coba tanya pada mereka, apa saja pengalaman yang mereka punya?
roda ini, 50 tahun sudah...
ketika geraknya sempat terhenti, bukan berarti tak bisa diperbaiki...
roda ini, 50 tahun sudah...
tapi perjalanannya tak akan pernah mati,
dan tak akan mati hanya sampai di sini....

Dirgahayu ke-50 PMKRI Cabang Palembang Santo Beda Yang Tekun
5 September 1963 - 5 September 2013

Kamis, 05 September 2013

aku, bumi, dan hujan...

bumi ingin memelukku, hujan ingin memeluk bumi, dan aku ingin memeluk hujan... *sebuah persimpangan*



hari ini hujan turun lagi, ia datang dengan ribuan tetesnya, seperti biasa...
ia yang tak pernah berjanji, tapi selalu kembali lagi...
itulah hujan...
dan ia datang untuk memeluk sang bumi,
ia tak ingin bumi merasa sepi...


aku berdiri sendiri di sini...
di bumi ini aku berpijak...
bumi yang begitu kucintai,
ia yang selalu memelukku,
dekapan hangatnya seolah tak ingin lepaskan aku...
masih panjang perjalananku di bumi...
bumi ingin selalu memelukku...
sementara aku di sini, selalu menatap ke langit,
langit hari ini kelabu,
ketika hujan datang, aku segera memburu,
ingin kupeluk tetesan hujan itu...

tapi apa dayaku?
mereka hanya tetesan, yang tak mungkin kupeluk...
hanya saja, mereka mengguyurku...
menenggelamkan aku dalam dekapannya yang dingin...

kini aku berada di sebuah persimpangan...
bumi ingin memelukku,
hujan ingin memeluk bumi,
dan aku ingin memeluk hujan...
tiga keadaan yang terjadi secara bersamaan...
keadaan ini membingungkan,
namun aku tak bisa lari dari keadaan...

Rabu, 28 Agustus 2013

Dari Kecil, Aku Sudah Biasa...

dari kecil, aku sudah terbiasa hidup susah...
jadi, sudah biasa...

dari kecil, aku sudah diajarkan HIDUP SEDERHANA,
tak boleh banyak menuntut, tak boleh banyak mengeluh, tak boleh banyak meminta...
mereka berkata, "bila ada rezeki, tanpa kamu meminta pun pasti kami beri..."

dari kecil, aku sudah diajarkan HUKUM CINTA KASIH,
tak boleh membenci, tak boleh iri hati, jangan segan memberi, jangan segan berbagi...
mereka berkata, "belajarlah untuk tetap mencintai meskipun ia membencimu, itu akan jadi nilai plus untukmu..."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk MENGALAH,
tak boleh egois, belajarlah pedulli dengan hal-hal kecil, meski berat cobalah untuk mengalah, apalagi karena terlahir sebagai anak tertua...
mereka berkata, "ada masanya kamu memang harus mengalah, tapi itu bukan berarti kamu kalah... mengalah dengan egomu sendiri itu adalah kemenangan yang luar biasa..."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk TIDAK MENDENDAM,
marah itu manusiawi, kesal itu hal yang wajar, tapi tidak baik jika terus-terusan dipendam, tak baik menyimpan dendam, itu akan merusak hati...
mereka berkata, "maafkan orang-orang yang bersalah padamu, Tuhan pun mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan mengasihi, bahkan Dia sendiri mengampuni umatNya tanpa syarat. meski berkali-kali tersakiti, tapi cobalah untuk tetap memaafkan...."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk BERSABAR,
orang yang sabar akan selalu menemukan keindahan tepat pada waktunya, orang yang sabar akan menuai hasil yang indah sebagai buah dari kesabaran itu...
mereka berkata, "jangan pernah berhenti untuk bersabar, karena sabar itu sesungguhnya tak ada batasnya..."



*****



di tengah bisingnya suasana, aku hanya duduk diam dan merenung, memikirkan hal-hal itu... betapa luar biasanya mereka, mereka menanamkan begitu banyak hal berharga... mungkin awalnya terasa sulit, mungkin dulu aku masih terlalu kecil untuk memahami semuanya... tapi sekarang, baru sekarang aku mulai merasakannya... sekarang, seharusnya aku sudah cukup dewasa untuk memaknai setiap perkataan mereka... dan tanpa disadari, ternyata hal-hal itu sudah tertanam begitu dalam di diri ini... meski masih ada beberapa hal yang cukup sulit untuk kulakukan, namun perlahan tapi pasti, aku pasti bisa melakukannya...

tak ada warisan maupun harta apa-apa, hanya wejangan berharga yang mereka beri untuk anak-anak mereka tercinta... kata "TERIMA KASIH" sepertinya tak akan pernah cukup untuk membalas semua kebaikan mereka, semoga dengan menjalankan amanat mereka bisa membuat mereka bahagia....



#dedicated for my beloved dad and my lovely mom...#

Sabtu, 24 Agustus 2013

secret admirer... hmm...??

dan lagi-lagi aku hanya terdiam memandangmu dari kejauhan...
entah kenapa, setiap kali kau muncul di depanku,
pesonamu seakan-akan membiusku...
seolah-olah semuanya bergerak lambat,
bahkan terkadang waktu seperti terhenti...
fokusku hanya tertuju padamu...

dari kejauhan aku memandangmu...
setiap kau muncul di hadapanku,
seperti ada angin segar yang berhembus menyejukkanku...

pernah suatu kali, ketika kita berpapasan...
mata bertemu mata,
tapi mulutku terkunci, tak keluar satu pun kata...
hanya senyum yang berbicara...

entah, kau ini makhluk apa...
karenamu, terkadang aku seperti es yang membeku...
karenamu, mendadak aku diam seperti patung, membisu...
dan karenamu juga aku meleleh bagai lilin terbakar api...

Sabtu, 17 Agustus 2013

Wanita-wanita Hebat (Part 1)

"Hoaaaaamh...."

Brukkk...!!

Sepulang dari kerja, aku langsung masuk ke kamar dan membanting badanku di kasur yang tidak empuk. Terdengar dari suaranya yang tidak merdu ketika tubuhku mendarat tepat di atasnya. Walau tidak empuk, tapi cukup untuk melepas lelahku setelah seharian bekerja. Kupejamkan mataku sebentar, berusaha mengosongkan pikiran, rasanya hari ini sangat melelahkan, sangat menguras tenaga. Hari ini terpaksa lembur karena ada barang masuk di gudang.

"Nduk, bangun. Ayo mandi dulu. Sudah jam setengah delapan," sebuah suara lembut membangunkanku dan membuatku tersadar, ternyata sudah satu jam aku tertidur.

"Astaga, aku ketiduran.. Maaf Bu..."

"Nggak apa-apa. Sekarang mandi dulu, itu Ibu sudah siapin air panas."

"Iya Bu, makasih."

Aku segera menuju ke kamar mandi dan langsung mengguyur seluruh badan ini dengan air hangat. Aaaah, segar rasanya. Rasanya seperti seluruh lelah di badan ini ikut luntur terguyur oleh air. Selesai mandi, badan ini pun segar lagi. Sambil mengeringkan rambut, aku berjalan menuju ruang keluarga. Gara-gara tadi ketiduran, aku sampai tak menyadari kalau ternyata rumah ini terdengar sepi. Kemana adik-adikku?

"Bu, Aryo dan Bayu kemana? Kok sepi?" tanyaku pada Ibu yang sedang duduk di sofa sambil menjahit.

"Kamu lupa ya? Malam ini kan mereka ada acara di kampus mereka? Jadi tadi sepulang menjemput Ibu dari kantor, Aryo langsung mandi dan buru-buru menyusul Bayu ke kampus. "

"Oh iya, maaf Bu, aku lupa."

Aku berjalan mendekati Ibu lalu duduk di sebelahnya. Sempat terjadi keheningan di antara aku dan Ibu. Kami larut dengan aktivitas masing-masing, aku sibuk mengeringkan rambut dengan handuk dan Ibu sibuk memasukkan benang ke jarum jahitnya. Kuperhatikan Ibu yang sepertinya mulai jengkel karena benang di tangannya tak masuk-masuk ke dalam lubang jarum.

"Susah ya Bu? Sini aku coba."

"Iya, padahal sudah pake kacamata, tapi masih nggak keliatan."

Aku mengambil jarum dan benang dari tangan Ibu. Tak sampai 5 menit, aku berhasil memasukkan benang ke dalam jarum, lalu kuserahkan pada Ibu lagi. "Ini Bu, sudah."

"Wah, cepat. Terima kasih ya Nduk."

"Sama-sama Bu."

"Inilah susahnya kalo sudah mulai tua gini. Apa-apa nggak bisa sendiri. Kalo nggak ada kamu pasti susah Nduk."

Aku hanya tersenyum. Aku terdiam. Diam-diam aku mengamati Ibu yang sudah mulai melanjutkan menjahit lagi. Kuperhatikan wajah Ibu, wajahnya memang masih cantik, tapi ternyata sudah mulai ada sedikit kerutan di dekat mata dan di keningnya. Sedangkan penglihatannya sudah tak setajam dulu. Sejak aku mulai bekerja, baru hari ini aku memperhatikan wajah Ibu sedetail ini. Biasanya sepulang kerja, aku selalu langsung masuk kamar dan sibuk dengan kegiatanku sendiri, bahkan selesai makan malam pun aku langsung masuk ke kamar lagi tanpa sempat berbincang dengan Ibu. Hubunganku dengan Ibu sekarang tidak sedekat dulu lagi.

"Aaaw..."

Aku tersentak ketika mendengar suara jeritan Ibu.

"Kenapa Bu?"

"Ini, ketusuk jarum."

"Mana Bu? Sini aku liat," kuraih tangan Ibu dan kubersihkan darahnya. Lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga tidak terlalu banyak. Sambil membersihkan luka di jari Ibu, aku sambil memperhatikan tangan Ibu. Tangannya yang lembut, yang dulu menggendong tubuh kecilku, kini sudah tak sekuat dan semulus dulu. Sudah mulai ada kerutan halus di punggung tangannya.

Benar, Ibu sudah tak segagah dulu. Apalagi sekarang tak ada lagi Bapak yang selalu menemani dan men-support-nya. Sejak 7 tahun lalu setelah Bapak meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya, Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan dan menyekolahkan aku dan kedua adikku sampai selesai. Ibu berjuang sendirian, tak peduli dengan cemooh dan hinaan orang-orang. Walau banyak gunjingan, banyak celaan, namun Ibu tetap kuat, Ibu terus berjalan maju menerjang segala tantangan. Semua kesakitan, kepahitan, dan kesusahan ditanggungnya tanpa keluh kesah. Meski terkadang terlihat lelah, Ibu hanya berhenti sejenak, kemudian Ibu melanjutkan lagi. Ibu paling tidak ingin merepotkan orang lain. Selagi masih bisa dilakukan, Ibu lebih memilih melakukannya sendiri.

Ya, itulah Ibu. Dia Ibuku, Ibu yang paling kuat yang pernah kumiliki. Aku tak pernah melihat Ibu meneteskan air mata, meski hatinya yang tersakiti sekalipun. Ketika Ibu marah, Ibu hanya menumpahkan kekesalannya lewat ceritanya yang berapi-api. Ketika Ibu kecewa, Ibu hanya menumpahkannya lewat kata-katanya yang tak bersemangat. Dan ketika Ibu sedang bahagia, Ibu hanya menunjukkannya lewat rona senyum dan suara tawanya yang membahana. Itulah Ibu, Ibu Dewi Maharani, Ibunda dari Arimbi, Aryo, dan Bayu, wanita yang selalu jadi panutan untuk ketiga anaknya.

"Nduk, kamu kenapa? Kok nangis?" suara Ibu memecah lamunanku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi aku hanya diam menatapi tangan Ibu, dan ternyata aku menangis.

"Ah, nggak apa-apa Bu."

"Jangan bohong. Ada apa? Cerita sama Ibu."

Aku hanya diam, kuhapus air mataku lalu kupandangi wajah Ibu.

"Arimbi, ada apa?"

Tak kuasa aku menahan rasa yang bergejolak dalam dada, aku langsung memeluk Ibu. Air mataku mengalir lagi, kali ini lebih deras. Hal ini malah semakin membuat Ibu bingung.

"Ibu, terima kasih," bisikku masih sambil sesengukan.

"Sama-sama Nduk. Ibu selalu ada buat kamu, buat Aryo, dan buat Bayu."

"Aku sayang sama Ibu. Maaf kalo sampai detik ini aku belum bisa buat Ibu bangga."

"Siapapun kamu, apapun yang sudah kamu lakukan sampai detik ini adalah yang dengan seizin Ibu, maka itu adalah kebanggaan Ibu... Tetaplah lakukan yang terbaik Nduk, doa Ibu menyertaimu..."

"Terima kasih Bu, terima kasih..."

Cinta seorang Ibu, kasih seorang Ibu, sayang seorang Ibu, dan doa seorang Ibu akan selalu ada untuk anak-anaknya tanpa perlu diminta. Semuanya tercurah tanpa menuntut balasan. Dan tak ada hal apapun yang cukup untuk membalas semuanya, kecuali membuatnya bangga telah melahirkan anak seperti kita.

=*=

Jumat, 02 Agustus 2013

Malam Ini...

malam ini,
lagi-lagi kumenulis,
tapi lagi-lagi kumenghapusnya...
lagi-lagi banyak yang ingin kusampaikan,
tapi lagi-lagi tak mampu kutuliskan...
berkali-kali kumenulis, namun kuhapus lagi...
lalu hanya terdiam...
tak mampu menulis apa-apa...


kemudian tersadar,
tiba-tiba layar ini penuh dengan kata-kata...
lantas, siapa yang barusan menulisnya???

#kepala mulai berat#

Senin, 29 Juli 2013

Cerita Hari Ini...

dalam waktu kurang dari 24 jam hari ini, ada tiga hal yang cukup membuatku takjub. awalnya memang risih, namun sepanjang perjalanan hari ini aku berusaha merangkumnya menjadi hal yang cukup menarik. merangkainya dalam suatu kalimat yang lucu dan pada akhirnya malah menjadi sesuatu yang indah. setidaknya, bila mengingatnya aku malah menjadi termotivasi...

  1. kesalahan selalu diselubungi dengan sesuatu yang manis, sehingga lebih menarik untuk dilakukan. sedangkan kebenaran selalu diselubungi dengan kepahitan sehingga enggan untuk dilakukan. akan tetapi, kesalahan tetaplah kesalahan, dan kebenaran tetaplah kebenaran. jadi, pilih yang mana? *hmm, aku pilih makan pare aja* #eh?
  2. bayangan, kemanapun kakimu melangkah, dia akan selalu mengikuti. kau berlari, bayangan pun mengejar. kau bersembunyi, bayangan hanya tak terlihat sesaat, ketika kau muncul maka bayangan akan di dekatmu lagi. kau tak akan mungkin jauh dari bayanganmu, maka berdamailah dengan bayanganmu. *oke, damai...* #yakin?
  3. hey, kuliah sudah libur, ngapain masih lembur....??? cepat tidur...!!! *hahaa, aku hanya merasa dunia ini milikku ketika berada sendirian di sunyinya malam, sehingga aku sering lupa waktu* #oke, ubah yang satu ini.

great...!!! ini akan jadi pelajaran berharga. ini bonus dari Tuhan, dalam sehari ada tiga pembelajaran yang kuterima. thanks God, You are AMAZING...!!!

 

Jumat, 26 Juli 2013

Jangan Sembunyi... (part 5, selesai)



“dulu kau yang mengajari aku bagaimana caranya untuk mencintai lagi, kau bangkitkan rasa yang dulu kukubur mati, kau datangkan lagi rasa yang kubiarkan pergi... lalu kini kau pula yang menghancurkannya lagi. untuk apa kau bangkitkan jika pada akhirnya kau bunuh lagi?”

*****

satu bulan berlalu, kulalui masa-masa sulit itu. masa-masa proses memaafkan, masa-masa proses mengikhlaskan, masa-masa proses melupakan. sebenarnya nyaris bisa, tapi ternyata cukup sulit. aku merasa seperti masih terus dibayang-bayangi olehnya.
bayangkan saja, mbak nia bilang dia masih saja suka menanyakan kabarku. sesekali dia masih suka mengirimkan pesan singkat padaku, ya sesekali kubalas, namun terkadang masih tak kutanggapi. yang lebih menjengkelkannya lagi, bahkan di beranda facebook-ku pun namanya selalu terpampang nyata...

tio dewantoro (tambahkan sebagai teman)

menyebalkan, sangat menyebalkan...!!!

*****

brrrrrt... brrrrrtt... brrrrrrttt...

ponselku bergetar kuat sekali, sampai-sampai mejanya ikut bergetar. aku yang sedang berada di dapur bahkan bisa mendengarnya. aku segera berlari menuju kamar dan meraih ponselku. kulihat layarnya. lagi-lagi harus diam terpaku menatap nama yang muncul di layar. tio dewantoro.

angkat, jangan, angkat, jangan, jangan angkat, angkat aja.... suara hati bergejolak, bimbang, galau. harus kuangkat atau jangan. oke, angkat saja. hadapi secara dewasa.

“halo...”

“hai, apa kabarmu?”

“yah, beginilah.”

“lagi sibuk ya?”

“nggak juga.”

“kamu nggak kerja?”

“nggak, lagi libur.”

“hmmm, yang....”

deg! jantungku berdegup lagi. mengapa dia masih memanggilku dengan sebutan itu lagi?

“hey, kan aku sudah pernah bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi.”

“segitu bencinya ya kamu sama aku?”

“lho, aku nggak bilang benci kan? aku cuma bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. itu aja.”

“aku ini nggak mau punya musuh, yang.”

“sama, aku juga. makanya, tolong ngertiin perasaan aku. apa kata temen-temenmu nanti kalo mereka dengar?”

“kan aku manggilnya nggak di depan mereka, yang. cuma kalo lagi berdua aja.”

“tio, tolonglah, ngertiin perasaan aku. inget, kita ini udah selesai, udah nggak bisa sama kayak dulu lagi.”

“tapi kita masih temenan kan?”

aku menghela nafas. kalau caranya masih sama seperti dulu, bagaimana bisa aku menganggapnya sebagai teman? pertemanan bisa berjalan seperti biasa kalau dia bisa menghargai aku, setidaknya tentang panggilan “sayang”itu. harusnya dia sadar kalau panggilan itu sudah tidak bisa dipakai lagi. itu sama saja menggoreskan luka baru, sementara luka yang lama belum sembuh.

“hmm, oke... jika kamu yang tidak bisa pergi dari hidupku dan jika memang aku tak perlu lari dari hidupmu, mungkin menerima keadaan dan tetap berjalan seperti biasa adalah satu-satunya cara... lagipula kita hanya manusia biasa, yang tak tahu kalau akhirnya akan jadi seperti ini... hmm, kita bisa mulai dengan panggilan awal lagi... kamu panggil aku "mbak", dan aku panggil kamu "adek"... gimana...??”

aku menawarkan sesuatu yang mungkin bisa memperbaiki keadaan.

“aku nggak bisa....”

“ayolah, harus bisa.... dulu waktu pertama kali kita ketemu dan kenal kan juga panggilannya gitu,” kali ini aku yang memaksa. kali ini aku tidak mau mengalah.

“hmm, okelah.... mbak...” terdengar berat saat dia memanggilku dengan panggilan awal.

ya, sudah selayaknya dia memanggilku “mbak”, dan sudah sepantasnya aku memanggilnya “adek”. banyak yang bilang bahwa perbedaan usia bukanlah masalah, namun bagiku ini cukup bermasalah. it’s complicated. aku berperang dengan diri sendiri dan dengan ego orang lain. di satu sisi aku memang masih menyimpan sedikit rasa sayang padanya, tapi di sisi lain aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi bersamanya. dia masih terlalu muda, pemikirannya belum cukup dewasa. aku tak akan lagi rela mengorbankan hatiku hanya untuk dipermainkan oleh anak kecil seperti dia. ya, dia adikku, dia lebih cocok jadi adikku. tak perlu lebih.
tak perlu sembunyi lagi, inilah kenyataan yang harus dihadapi.... (30042013-15062013)