welcome to the page

welcome to the page

Selasa, 18 Maret 2014

Namanya Aksan...

Namanya Aksan. Badannya tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu tinggi, tapi kostum kerjanya (sepatu dan helm safety) selalu membuatnya terlihat gagah. Di proyek, ia dijuluki "Si Tangan Dingin". Semua mesin dan alat yang rusak pasti hidup lagi bila sudah disentuhnya. Geraknya pun lincah, tidak pernah terlihat diam di satu tempat. Dalam satu jam ia sudah berpindah tempat berkali-kali.

"San, tolong ke pasar ya, belikan engkol mesin."

"Sekarang Ndor?"

"Nggak, tahun depan. Ya sekarang lah! Pake nanya. Ini duitnya..."

"Hehee... Bercanda... Siap Ndor..."

"Pulang dari pasar lu mampir ke Toko Sinar, kemarin bos pesan bor, sudah dibayar, lu tinggal ambil aja."

"Beres Ndor. Ada lagi?"

"Sudah, itu aja."

Tak sengaja kudengar percakapan Aksan dan Mandor di depan camp-ku. Aksan masih saja bisa bercanda dengan Mandor, padahal kelihatan dari raut wajahnya kalau sebenarnya ia sedang malas disuruh-suruh.

"Mukanya jangan ditekuk gitu dong, San," teriakku dari dalam camp ketika Mandor sudah pergi.

"Siapa yang mukanya ditekuk? Orang senyum gini kok!" Aksan langsung nyengir lebar. Sangat lebar. Tapi jadi lucu karena senyum terpaksa. "Saya kan mencintai pekerjaan saya, jadi tidak boleh cemberut," sambungnya.

"Hahaa, iya deh, iya, yang cinta pekerjaannya." Aku tertawa geli melihat ekspresinya. Masih saja berusaha menghibur diri. Padahal dalam hati sedang jengkel. Bagaimana tidak jengkel? Seharian ini Mandor seperti orang kesurupan, tiba-tiba marah tak jelas, mengomel tak jelas, instruksi yang berubah-ubah (aku pun jadi ikut jengkel mendengarnya). Seluruh anak buahnya kena batunya, termasuk Aksan. Padahal Aksan adalah anak buah kesayangannya.

"Tebakan gue nih, Mandor tadi pagi habis diceramahin sama Big Boss, makanya jadi uring-uringan gak jelas gitu."

"Lho, bukannya lu bilang Mandor emang suka gak jelas tiap hari, San?"

"Iya, emang. Tapi hari ini beda dari biasanya. Anak-anak dibuat kelabakan. Si Yudi lagi benerin PC 40 disuruh ke ujung sana. Si Riko lagi di ujung malah disuruh naik. Lah gue, tadi lagi benerin mesin di ujung situ tuh, tahu-tahu dipanggil ke sini, disuruh beli engkol mesin. Tadi lu denger sendiri kan suaranya yang cetar membahana itu? Dari sini manggil bisa kedengeran sampe ke ujung situ."

"Hahaha, iya, tadi gue denger. Yang sabar ya..."

"Iya, sabar... sabar... sabaaaar..."

"AKSAAAAAN...!!! Masih belum pergi juga?!" tiba-tiba suara Mandor yang menggelegar memecah obrolan kami.

"Iya Ndor, ini juga udah mau jalan." Aksan cuma bisa tepok jidat berkali-kali. "Panjang umur banget sih tuh orang? Baru juga diomongin," gerutunya."

"Udah San, jalan sana. Kalo sekali lagi dia liat lu masih di sini bisa tambah ngomel dia."

"Iya deh, gue jalan dulu."

"Oke, hati-hati."

Sesaat kemudian, Aksan meluncur dengan gesitnya meninggalkan camp. Di sudut lain terlihat si Mandor berjalan menuju ke arah camp. Wah, bakal gak aman ini, siap-siap cari headset deh. Roman-romannya dia bakalan ngoceh-ngoceh lagi. Aku segera berlari masuk ke camp lagi.

"Heeeh, Heraa... Ngapain lu lari pas liat gue?"

Ah, sial! Dia liat.

"Kagak Ndor. Cuma mau nyari'in baut aja. Mandor kesini mau nyari baut kan?"

"Ngeles aja lu. Tapi, emang iya sih. Baut 7/16 deh, 50 set."

"Siap Ndor...!!!"

Kerasnya hidup di proyek. Tapi inilah seninya, mengajarkanku untuk hidup tangguh. Apalagi dengan perbandingan 200 : 1 begini, 200 pria dan 1 wanita, benar-benar dituntut untuk tangguh.

"Pandai-pandailah berkamuflase," setidaknya begitulah kata Aksan waktu itu. Untung saja dari 200 itu masih ada yang "normal" seperti Aksan. Kalau tidak, aku bisa benar-benar gila. Hahahaa...


*based on true story with some editing* :)