welcome to the page

welcome to the page

Rabu, 28 Agustus 2013

Dari Kecil, Aku Sudah Biasa...

dari kecil, aku sudah terbiasa hidup susah...
jadi, sudah biasa...

dari kecil, aku sudah diajarkan HIDUP SEDERHANA,
tak boleh banyak menuntut, tak boleh banyak mengeluh, tak boleh banyak meminta...
mereka berkata, "bila ada rezeki, tanpa kamu meminta pun pasti kami beri..."

dari kecil, aku sudah diajarkan HUKUM CINTA KASIH,
tak boleh membenci, tak boleh iri hati, jangan segan memberi, jangan segan berbagi...
mereka berkata, "belajarlah untuk tetap mencintai meskipun ia membencimu, itu akan jadi nilai plus untukmu..."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk MENGALAH,
tak boleh egois, belajarlah pedulli dengan hal-hal kecil, meski berat cobalah untuk mengalah, apalagi karena terlahir sebagai anak tertua...
mereka berkata, "ada masanya kamu memang harus mengalah, tapi itu bukan berarti kamu kalah... mengalah dengan egomu sendiri itu adalah kemenangan yang luar biasa..."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk TIDAK MENDENDAM,
marah itu manusiawi, kesal itu hal yang wajar, tapi tidak baik jika terus-terusan dipendam, tak baik menyimpan dendam, itu akan merusak hati...
mereka berkata, "maafkan orang-orang yang bersalah padamu, Tuhan pun mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan mengasihi, bahkan Dia sendiri mengampuni umatNya tanpa syarat. meski berkali-kali tersakiti, tapi cobalah untuk tetap memaafkan...."

dari kecil, aku sudah diajarkan untuk BERSABAR,
orang yang sabar akan selalu menemukan keindahan tepat pada waktunya, orang yang sabar akan menuai hasil yang indah sebagai buah dari kesabaran itu...
mereka berkata, "jangan pernah berhenti untuk bersabar, karena sabar itu sesungguhnya tak ada batasnya..."



*****



di tengah bisingnya suasana, aku hanya duduk diam dan merenung, memikirkan hal-hal itu... betapa luar biasanya mereka, mereka menanamkan begitu banyak hal berharga... mungkin awalnya terasa sulit, mungkin dulu aku masih terlalu kecil untuk memahami semuanya... tapi sekarang, baru sekarang aku mulai merasakannya... sekarang, seharusnya aku sudah cukup dewasa untuk memaknai setiap perkataan mereka... dan tanpa disadari, ternyata hal-hal itu sudah tertanam begitu dalam di diri ini... meski masih ada beberapa hal yang cukup sulit untuk kulakukan, namun perlahan tapi pasti, aku pasti bisa melakukannya...

tak ada warisan maupun harta apa-apa, hanya wejangan berharga yang mereka beri untuk anak-anak mereka tercinta... kata "TERIMA KASIH" sepertinya tak akan pernah cukup untuk membalas semua kebaikan mereka, semoga dengan menjalankan amanat mereka bisa membuat mereka bahagia....



#dedicated for my beloved dad and my lovely mom...#

Sabtu, 24 Agustus 2013

secret admirer... hmm...??

dan lagi-lagi aku hanya terdiam memandangmu dari kejauhan...
entah kenapa, setiap kali kau muncul di depanku,
pesonamu seakan-akan membiusku...
seolah-olah semuanya bergerak lambat,
bahkan terkadang waktu seperti terhenti...
fokusku hanya tertuju padamu...

dari kejauhan aku memandangmu...
setiap kau muncul di hadapanku,
seperti ada angin segar yang berhembus menyejukkanku...

pernah suatu kali, ketika kita berpapasan...
mata bertemu mata,
tapi mulutku terkunci, tak keluar satu pun kata...
hanya senyum yang berbicara...

entah, kau ini makhluk apa...
karenamu, terkadang aku seperti es yang membeku...
karenamu, mendadak aku diam seperti patung, membisu...
dan karenamu juga aku meleleh bagai lilin terbakar api...

Sabtu, 17 Agustus 2013

Wanita-wanita Hebat (Part 1)

"Hoaaaaamh...."

Brukkk...!!

Sepulang dari kerja, aku langsung masuk ke kamar dan membanting badanku di kasur yang tidak empuk. Terdengar dari suaranya yang tidak merdu ketika tubuhku mendarat tepat di atasnya. Walau tidak empuk, tapi cukup untuk melepas lelahku setelah seharian bekerja. Kupejamkan mataku sebentar, berusaha mengosongkan pikiran, rasanya hari ini sangat melelahkan, sangat menguras tenaga. Hari ini terpaksa lembur karena ada barang masuk di gudang.

"Nduk, bangun. Ayo mandi dulu. Sudah jam setengah delapan," sebuah suara lembut membangunkanku dan membuatku tersadar, ternyata sudah satu jam aku tertidur.

"Astaga, aku ketiduran.. Maaf Bu..."

"Nggak apa-apa. Sekarang mandi dulu, itu Ibu sudah siapin air panas."

"Iya Bu, makasih."

Aku segera menuju ke kamar mandi dan langsung mengguyur seluruh badan ini dengan air hangat. Aaaah, segar rasanya. Rasanya seperti seluruh lelah di badan ini ikut luntur terguyur oleh air. Selesai mandi, badan ini pun segar lagi. Sambil mengeringkan rambut, aku berjalan menuju ruang keluarga. Gara-gara tadi ketiduran, aku sampai tak menyadari kalau ternyata rumah ini terdengar sepi. Kemana adik-adikku?

"Bu, Aryo dan Bayu kemana? Kok sepi?" tanyaku pada Ibu yang sedang duduk di sofa sambil menjahit.

"Kamu lupa ya? Malam ini kan mereka ada acara di kampus mereka? Jadi tadi sepulang menjemput Ibu dari kantor, Aryo langsung mandi dan buru-buru menyusul Bayu ke kampus. "

"Oh iya, maaf Bu, aku lupa."

Aku berjalan mendekati Ibu lalu duduk di sebelahnya. Sempat terjadi keheningan di antara aku dan Ibu. Kami larut dengan aktivitas masing-masing, aku sibuk mengeringkan rambut dengan handuk dan Ibu sibuk memasukkan benang ke jarum jahitnya. Kuperhatikan Ibu yang sepertinya mulai jengkel karena benang di tangannya tak masuk-masuk ke dalam lubang jarum.

"Susah ya Bu? Sini aku coba."

"Iya, padahal sudah pake kacamata, tapi masih nggak keliatan."

Aku mengambil jarum dan benang dari tangan Ibu. Tak sampai 5 menit, aku berhasil memasukkan benang ke dalam jarum, lalu kuserahkan pada Ibu lagi. "Ini Bu, sudah."

"Wah, cepat. Terima kasih ya Nduk."

"Sama-sama Bu."

"Inilah susahnya kalo sudah mulai tua gini. Apa-apa nggak bisa sendiri. Kalo nggak ada kamu pasti susah Nduk."

Aku hanya tersenyum. Aku terdiam. Diam-diam aku mengamati Ibu yang sudah mulai melanjutkan menjahit lagi. Kuperhatikan wajah Ibu, wajahnya memang masih cantik, tapi ternyata sudah mulai ada sedikit kerutan di dekat mata dan di keningnya. Sedangkan penglihatannya sudah tak setajam dulu. Sejak aku mulai bekerja, baru hari ini aku memperhatikan wajah Ibu sedetail ini. Biasanya sepulang kerja, aku selalu langsung masuk kamar dan sibuk dengan kegiatanku sendiri, bahkan selesai makan malam pun aku langsung masuk ke kamar lagi tanpa sempat berbincang dengan Ibu. Hubunganku dengan Ibu sekarang tidak sedekat dulu lagi.

"Aaaw..."

Aku tersentak ketika mendengar suara jeritan Ibu.

"Kenapa Bu?"

"Ini, ketusuk jarum."

"Mana Bu? Sini aku liat," kuraih tangan Ibu dan kubersihkan darahnya. Lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga tidak terlalu banyak. Sambil membersihkan luka di jari Ibu, aku sambil memperhatikan tangan Ibu. Tangannya yang lembut, yang dulu menggendong tubuh kecilku, kini sudah tak sekuat dan semulus dulu. Sudah mulai ada kerutan halus di punggung tangannya.

Benar, Ibu sudah tak segagah dulu. Apalagi sekarang tak ada lagi Bapak yang selalu menemani dan men-support-nya. Sejak 7 tahun lalu setelah Bapak meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya, Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan dan menyekolahkan aku dan kedua adikku sampai selesai. Ibu berjuang sendirian, tak peduli dengan cemooh dan hinaan orang-orang. Walau banyak gunjingan, banyak celaan, namun Ibu tetap kuat, Ibu terus berjalan maju menerjang segala tantangan. Semua kesakitan, kepahitan, dan kesusahan ditanggungnya tanpa keluh kesah. Meski terkadang terlihat lelah, Ibu hanya berhenti sejenak, kemudian Ibu melanjutkan lagi. Ibu paling tidak ingin merepotkan orang lain. Selagi masih bisa dilakukan, Ibu lebih memilih melakukannya sendiri.

Ya, itulah Ibu. Dia Ibuku, Ibu yang paling kuat yang pernah kumiliki. Aku tak pernah melihat Ibu meneteskan air mata, meski hatinya yang tersakiti sekalipun. Ketika Ibu marah, Ibu hanya menumpahkan kekesalannya lewat ceritanya yang berapi-api. Ketika Ibu kecewa, Ibu hanya menumpahkannya lewat kata-katanya yang tak bersemangat. Dan ketika Ibu sedang bahagia, Ibu hanya menunjukkannya lewat rona senyum dan suara tawanya yang membahana. Itulah Ibu, Ibu Dewi Maharani, Ibunda dari Arimbi, Aryo, dan Bayu, wanita yang selalu jadi panutan untuk ketiga anaknya.

"Nduk, kamu kenapa? Kok nangis?" suara Ibu memecah lamunanku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi aku hanya diam menatapi tangan Ibu, dan ternyata aku menangis.

"Ah, nggak apa-apa Bu."

"Jangan bohong. Ada apa? Cerita sama Ibu."

Aku hanya diam, kuhapus air mataku lalu kupandangi wajah Ibu.

"Arimbi, ada apa?"

Tak kuasa aku menahan rasa yang bergejolak dalam dada, aku langsung memeluk Ibu. Air mataku mengalir lagi, kali ini lebih deras. Hal ini malah semakin membuat Ibu bingung.

"Ibu, terima kasih," bisikku masih sambil sesengukan.

"Sama-sama Nduk. Ibu selalu ada buat kamu, buat Aryo, dan buat Bayu."

"Aku sayang sama Ibu. Maaf kalo sampai detik ini aku belum bisa buat Ibu bangga."

"Siapapun kamu, apapun yang sudah kamu lakukan sampai detik ini adalah yang dengan seizin Ibu, maka itu adalah kebanggaan Ibu... Tetaplah lakukan yang terbaik Nduk, doa Ibu menyertaimu..."

"Terima kasih Bu, terima kasih..."

Cinta seorang Ibu, kasih seorang Ibu, sayang seorang Ibu, dan doa seorang Ibu akan selalu ada untuk anak-anaknya tanpa perlu diminta. Semuanya tercurah tanpa menuntut balasan. Dan tak ada hal apapun yang cukup untuk membalas semuanya, kecuali membuatnya bangga telah melahirkan anak seperti kita.

=*=

Jumat, 02 Agustus 2013

Malam Ini...

malam ini,
lagi-lagi kumenulis,
tapi lagi-lagi kumenghapusnya...
lagi-lagi banyak yang ingin kusampaikan,
tapi lagi-lagi tak mampu kutuliskan...
berkali-kali kumenulis, namun kuhapus lagi...
lalu hanya terdiam...
tak mampu menulis apa-apa...


kemudian tersadar,
tiba-tiba layar ini penuh dengan kata-kata...
lantas, siapa yang barusan menulisnya???

#kepala mulai berat#