"Hoaaaaamh...."
Brukkk...!!
Sepulang dari kerja, aku langsung masuk ke kamar dan membanting badanku di kasur yang tidak empuk. Terdengar dari suaranya yang tidak merdu ketika tubuhku mendarat tepat di atasnya. Walau tidak empuk, tapi cukup untuk melepas lelahku setelah seharian bekerja. Kupejamkan mataku sebentar, berusaha mengosongkan pikiran, rasanya hari ini sangat melelahkan, sangat menguras tenaga. Hari ini terpaksa lembur karena ada barang masuk di gudang.
"Nduk, bangun. Ayo mandi dulu. Sudah jam setengah delapan," sebuah suara lembut membangunkanku dan membuatku tersadar, ternyata sudah satu jam aku tertidur.
"Astaga, aku ketiduran.. Maaf Bu..."
"Nggak apa-apa. Sekarang mandi dulu, itu Ibu sudah siapin air panas."
"Iya Bu, makasih."
Aku segera menuju ke kamar mandi dan langsung mengguyur seluruh badan ini dengan air hangat. Aaaah, segar rasanya. Rasanya seperti seluruh lelah di badan ini ikut luntur terguyur oleh air. Selesai mandi, badan ini pun segar lagi. Sambil mengeringkan rambut, aku berjalan menuju ruang keluarga. Gara-gara tadi ketiduran, aku sampai tak menyadari kalau ternyata rumah ini terdengar sepi. Kemana adik-adikku?
"Bu, Aryo dan Bayu kemana? Kok sepi?" tanyaku pada Ibu yang sedang duduk di sofa sambil menjahit.
"Kamu lupa ya? Malam ini kan mereka ada acara di kampus mereka? Jadi tadi sepulang menjemput Ibu dari kantor, Aryo langsung mandi dan buru-buru menyusul Bayu ke kampus. "
"Oh iya, maaf Bu, aku lupa."
Aku berjalan mendekati Ibu lalu duduk di sebelahnya. Sempat terjadi keheningan di antara aku dan Ibu. Kami larut dengan aktivitas masing-masing, aku sibuk mengeringkan rambut dengan handuk dan Ibu sibuk memasukkan benang ke jarum jahitnya. Kuperhatikan Ibu yang sepertinya mulai jengkel karena benang di tangannya tak masuk-masuk ke dalam lubang jarum.
"Susah ya Bu? Sini aku coba."
"Iya, padahal sudah pake kacamata, tapi masih nggak keliatan."
Aku mengambil jarum dan benang dari tangan Ibu. Tak sampai 5 menit, aku berhasil memasukkan benang ke dalam jarum, lalu kuserahkan pada Ibu lagi. "Ini Bu, sudah."
"Wah, cepat. Terima kasih ya Nduk."
"Sama-sama Bu."
"Inilah susahnya kalo sudah mulai tua gini. Apa-apa nggak bisa sendiri. Kalo nggak ada kamu pasti susah Nduk."
Aku hanya tersenyum. Aku terdiam. Diam-diam aku mengamati Ibu yang sudah mulai melanjutkan menjahit lagi. Kuperhatikan wajah Ibu, wajahnya memang masih cantik, tapi ternyata sudah mulai ada sedikit kerutan di dekat mata dan di keningnya. Sedangkan penglihatannya sudah tak setajam dulu. Sejak aku mulai bekerja, baru hari ini aku memperhatikan wajah Ibu sedetail ini. Biasanya sepulang kerja, aku selalu langsung masuk kamar dan sibuk dengan kegiatanku sendiri, bahkan selesai makan malam pun aku langsung masuk ke kamar lagi tanpa sempat berbincang dengan Ibu. Hubunganku dengan Ibu sekarang tidak sedekat dulu lagi.
"Aaaw..."
Aku tersentak ketika mendengar suara jeritan Ibu.
"Kenapa Bu?"
"Ini, ketusuk jarum."
"Mana Bu? Sini aku liat," kuraih tangan Ibu dan kubersihkan darahnya. Lukanya tidak terlalu dalam, darahnya juga tidak terlalu banyak. Sambil membersihkan luka di jari Ibu, aku sambil memperhatikan tangan Ibu. Tangannya yang lembut, yang dulu menggendong tubuh kecilku, kini sudah tak sekuat dan semulus dulu. Sudah mulai ada kerutan halus di punggung tangannya.
Benar, Ibu sudah tak segagah dulu. Apalagi sekarang tak ada lagi Bapak yang selalu menemani dan men-
support-nya. Sejak 7 tahun lalu setelah Bapak meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya, Ibu berjuang sendirian untuk membesarkan dan menyekolahkan aku dan kedua adikku sampai selesai. Ibu berjuang sendirian, tak peduli dengan cemooh dan hinaan orang-orang. Walau banyak gunjingan, banyak celaan, namun Ibu tetap kuat, Ibu terus berjalan maju menerjang segala tantangan. Semua kesakitan, kepahitan, dan kesusahan ditanggungnya tanpa keluh kesah. Meski terkadang terlihat lelah, Ibu hanya berhenti sejenak, kemudian Ibu melanjutkan lagi. Ibu paling tidak ingin merepotkan orang lain. Selagi masih bisa dilakukan, Ibu lebih memilih melakukannya sendiri.
Ya, itulah Ibu. Dia Ibuku, Ibu yang paling kuat yang pernah kumiliki. Aku tak pernah melihat Ibu meneteskan air mata, meski hatinya yang tersakiti sekalipun. Ketika Ibu marah, Ibu hanya menumpahkan kekesalannya lewat ceritanya yang berapi-api. Ketika Ibu kecewa, Ibu hanya menumpahkannya lewat kata-katanya yang tak bersemangat. Dan ketika Ibu sedang bahagia, Ibu hanya menunjukkannya lewat rona senyum dan suara tawanya yang membahana. Itulah Ibu, Ibu Dewi Maharani, Ibunda dari Arimbi, Aryo, dan Bayu, wanita yang selalu jadi panutan untuk ketiga anaknya.
"Nduk, kamu kenapa? Kok nangis?" suara Ibu memecah lamunanku. Aku baru sadar bahwa sedari tadi aku hanya diam menatapi tangan Ibu, dan ternyata aku menangis.
"Ah, nggak apa-apa Bu."
"Jangan bohong. Ada apa? Cerita sama Ibu."
Aku hanya diam, kuhapus air mataku lalu kupandangi wajah Ibu.
"Arimbi, ada apa?"
Tak kuasa aku menahan rasa yang bergejolak dalam dada, aku langsung memeluk Ibu. Air mataku mengalir lagi, kali ini lebih deras. Hal ini malah semakin membuat Ibu bingung.
"Ibu, terima kasih," bisikku masih sambil sesengukan.
"Sama-sama Nduk. Ibu selalu ada buat kamu, buat Aryo, dan buat Bayu."
"Aku sayang sama Ibu. Maaf kalo sampai detik ini aku belum bisa buat Ibu bangga."
"Siapapun kamu, apapun yang sudah kamu lakukan sampai detik ini adalah yang dengan seizin Ibu, maka itu adalah kebanggaan Ibu... Tetaplah lakukan yang terbaik Nduk, doa Ibu menyertaimu..."
"Terima kasih Bu, terima kasih..."
Cinta seorang Ibu, kasih seorang Ibu, sayang seorang Ibu, dan doa seorang Ibu akan selalu ada untuk anak-anaknya tanpa perlu diminta. Semuanya tercurah tanpa menuntut balasan. Dan tak ada hal apapun yang cukup untuk membalas semuanya, kecuali membuatnya bangga telah melahirkan anak seperti kita.
=*=