welcome to the page

welcome to the page

Jumat, 22 November 2013

Apa Yang Anda Pikirkan? (Litani Tanda Tanya)

apa yang anda pikirkan?
pertanyaan sederhana yang akan selalu kita temui setiap kali kita masuk ke akun jejaring sosial ini...
tapi akan ada banyak makna dan cerita di baliknya...

apa yang anda pikirkan tentang manusia lainnya?
apakah dia lebih baikkah?
ataukah dia lebih burukkah?

apa yang anda pikirkan tentang makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna?
apakah dia selalu sempurna?
apakah dia tak akan pernah punya salah?
ataukah justru anda berpikir hidup anda selalu benar dan hidupnya selalu salah?
sehingga anda berhak menghakiminya dan memvonisnya?

lalu, apakah anda pernah berpikir tentang apa yang mereka pikirkan tentang anda?
apakah anda pernah berpikir bila suatu saat apa yang anda pikirkan tentang mereka, juga adalah hal yang mereka pikirkan tentang anda?
coba renungkan, mari pikirkan bersama...
kita semua sama, sama-sama makhluk Tuhan yang paling sempurna,
jadi jangan cacati kesempurnaan itu dengan pikiran-pikiran yang tidak semestinya...


*hanya untuk orang-orang yang mengaku masih bisa berpikir*

Sabtu, 09 November 2013

Tentang Waktu...

Ketika kuberjalan sendiri, menyusuri dinginnya malam dalam ramainya kota ini, seketika kuteringat sesuatu. Tiba-tiba kuteringat tentang kalimat andalanmu, "Biarlah waktu yang akan menjawabnya...."

Iya, kau sangat suka mengatakan hal itu. Segala sesuatu yang kauhadapi, yang kaujalani semuanya kaubiarkan mengalir seperti air, mengikuti arus. Kauserahkan semuanya sepenuhnya kepada Sang Waktu. Kau begitu yakin dan percaya bahwa waktu yang akan menjawab segalanya.

Tapi bagaimana jika Sang Waktu tak ingat kata-katamu?
Bagaimana jika Sang Waktu membisu?
Bagaimana jika Sang Waktu tak mau tahu?
Bagaimana jika Sang Waktu lupa dengan janji-janjimu?
Dan bagaimana jika Sang Waktu pergi dan tak lagi kembali?
Masihkah kau percaya padanya?
Bagaimana jika segala yang pernah kau percayakan padanya tak terjawab juga?

Waktu. Ia selalu kejam, apa yang sudah terjadi tak akan pernah diulangnya lagi. Apa yang sudah diambil tak akan pernah dikembalikannya lagi. Namun Sang Waktu cukup adil. Cepat atau lambat, waktu memang akan membuktikan segalanya...

Lalu, tentang kita, yang juga kaupercayakan pada waktu, aku juga telah serahkan sepenuhnya pada Sang Waktu... Akan jadi apa kita ke depannya, biarlah sekarang kita jalani saja, biarkan mengalir seperti air, tetap berusaha sambil berdoa, dan biarlah waktu yang akan menjawab semuanya...

Jumat, 08 November 2013

Surat Cinta Mahasiswa Tingkat Akhir...

Hai, sayang...
Maafkan aku yang sempat lama meninggalkanmu. Ini semua salahku, aku terlalu sibuk dengan hal-hal yang kurang berguna, sampai-sampai aku melupakanmu. Apalagi karena sempat mengalami insiden kecelakaan konyol itu. Aku jadi tidak leluasa bergerak, mobilitasku terganggu karena kakiku yang sakit tak kunjung sembuh. Jadi, aku mohon maaf padamu. Maaf beribu maaf, maaf aku mengabaikanmu.

Sayang, semalam aku sudah berniat berdamai denganmu lagi. Aku ingin kita baikan, aku ingin kita balikan. Aku ingin hubungan kita kembali membaik seperti dulu lagi. Aku ingat bagaimana dulu jatuh bangunnya aku memperjuangkanmu. Bodohnya, setelah aku mendapatkanmu, aku malah menyia-nyiakanmu. Maaf ya sayang... Aku menyesal... Aku tak ada apa-apanya tanpamu.

Sayang, aku tidak akan berjanji apa-apa. Apalagi berjanji untuk setia padamu. Tapi aku akan berusaha sekuat tenaga, seluruh jiwa raga, sehabis-habisnya, demi memperjuangkanmu hingga akhir. Kamu tahu, sayang? Mama sudah sering menanyakan kamu. Aku malu sayang, aku malu kalau Mama tahu kita sedang "marahan". Jadi, sayang, izinkanlah aku kembali berdamai denganmu. Akan kubuktikan lagi perjuanganku. Jika kau mau memaafkanku, malam ini, kita berjumpa di tempat dan jam yang sama. Tunggulah aku, bila kita berjumpa, segera akan kupeluk dirimu. Kita selesaikan semuanya, karena ternyata aku merindukanmu....

dari aku yang dulu memperjuangkanmu
teruntuk kamu, SKRIPSIku...

Kamis, 07 November 2013

Rambo dari Pasundan (Pria di Perbatasan)...

Putih, bersih, begitu kumelihatmu. Wajahmu mirip dengan kedua kakakmu, namun tidak dengan fisikmu. Jika dibandingkan dengan kakakmu yang pertama, badanmu lebih gagah, kekar, tegap, dan berisi. Jika dibandingkan dengan kakakmu yang kedua, kulitmu lebih cerah, putih, dan bersih.

Iya, itulah kamu. Kamu penduduk asli dari pulau seberang. Kamu tinggal di daerah perkebunan dekat dengan pegunungan. Cuaca di sana yang membuat fisikmu seperti itu. Jika kau bersebelahan denganku, perbandingannya sangat kentara, sangat jelas terlihat jauh berbeda. Anehnya, bekerja di daerah dataran rendah nan panas seperti ini tidak menghanguskan kulitmu. Kau tetap saja cerah.

Melihatmu berada di lapangan, berdiri di tengah-tengah, di antara mereka, kau seperti matahari. Tapi sayangnya, kau matahari yang dingin. Jarang kulihat kau tersenyum di antara mereka. Wajahmu selalu serius. Apakah memang selalu seserius itu? Atau hanya kebetulan saja, setiap kulihat kau sedang serius? Hmm, kurasa memang alasan kedua. Karena faktanya, ketika kita sedang bercengkerama berdua, sering kulihat kau tersenyum, dan tak jarang kau pun tertawa. Lumayan banyak cerita yang kita bagi, lumayan sering kita menghabiskan waktu sampai pagi.

Aku tahu, kau lelah. Tapi  setiap pagi kau selalu berusaha tetap cerah. Pekerjaanmu menguras tenaga, fisikmu terlihat baik-baik saja tapi suaramu tak bisa berbohong. Kau lelah, kau lelah, dan kau lelah. Mungkin kau terlihat gagah, tapi sebenarnya kau mulai lemah.

Kini, sudah jarang kita bertemu. Biasanya kita berjumpa di perbatasan. Aku di sini dan kau di seberang sana. Terakhir kali kita berjumpa di perbatasan itu. Kulihat wajahmu sendu. suaramu tak merdu, sorot matamu sayu. Kau sakit. Iya, kau sakit. Kau lelah. Bekerja dari pagi hingga malam tanpa jeda. Melihatku, kau berusaha tersenyum manis, tapi itu malah membuatku miris. Senyummu yang terakhir kulihat itu, yang paling kuingat. Senyum kelelahan.

Sementara itu, dia, wanitamu, dia yang di seberang sana, entah apakah dia tahu tentang keadaanmu. Aku tak tahu itu. Yang aku tahu, dia selalu menunggu telepon darimu. Iya, dia, wanitamu. Andai dia melihat keadaanmu, andai dia tahu bagaimana pekerjaanmu, dan yang terpenting, andai dia ada di dekatmu, di sampingmu, di sisimu.

Rambo, oh Rambo... Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya terselip namamu sebagai salah satu nama yang kusebut dalam doa. Semoga Tuhan selalu menjagamu, semoga Tuhan selalu menguatkanmu, dan semoga kau selalu baik-baik saja di seberang sana.

Aku tak pernah lagi menunggumu di perbatasan itu, dan kau tak lagi berkewajiban menemui aku di perbatasan itu. Untuk sementara, tugasku sudah selesai. Hanya menunggu, kapan lagi aku menerima tugas mulia itu. Hanya menunggu, kapan lagi aku harus berdiri di perbatasan, menunggu kedatanganmu.


untuk si Rambo dari Pasundan
apa kabarmu, kawan?

Rabu, 06 November 2013

Tentang Keserakahan, Tentang Arogansi...

Ini kutulis ketika panas melanda, dan pikiran kembali tertuju pada hal itu. Tentang sesuatu yang kulihat kemarin, tepat di depan mataku. Kusaksikan sendiri dengan mataku, kudengar sendiri dengan telingaku, dan kurasakan sendiri dengan hatiku.

Ini tentang keserakahan, tentang ketamakan, tentang keegoisan, tentang arogansi manusia. Semakin berkecukupan manusia, maka semakin serakahlah dia. Seolah-olah segala sesuatunya tak pernah cukup. Selalu saja kurang, kurang, dan kurang... Selalu menginginkan yang lebih, hak orang lain dirampas tanpa perasaan malu ataupun bersalah. Mungkin inilah yang dilakukan oleh para koruptor. Tak ada sedikitpun rasa takut. Semakin kaya malah semakin merasa kurang. Bahkan hukum pun bisa dibeli dengan uang mereka yang seperti tak pernah ada habisnya. Kasih Uang Habis Perkara, itu azas mereka. Segala sesuatunya jadi mudah, uang yang berbicara.

Berbanding terbalik dengan rakyat kecil. Mereka hidup benar-benar pas-pasan. Uang yang tak seberapa itu di-press sedemikian rupa, diatur sebisanya, secukup-cukupnya untuk mencukupi keutuhan sehari-hari dalam rentang waktu tertentu. Tak sedikitpun terlintas di benak mereka untuk berbuat curang. Meski sempat terlintas pun, tak sampai hati berniat untuk melakukannya. Terlalu beresiko menghadapi hukum di negeri ini. Terlalu dibuat-buat. Mereka tak punya biaya untuk memperlancar hukum dan segala urusannya. Jadi, mereka memilih bertahan saja dalam keterbatasan yang mereka punya.

Kadang terlihat tak adil, kadang terlihat seolah-olah Tuhan tidak turun tangan. Sebenarnya bukan begitu. Sebenarnya hati manusia terlalu mudah tergoda oleh rayuan setan. Padahal Tuhan sudah membuat batasan, tapi manusia malah melanggarnya. Jadi, begitulah keadaannya. Godaan setan memang terlihat lebih manis, namun pada akhirnya selalu berakhir tragis.


didedikasikan untuk para calon koruptor
koruptor kelas teri
sekecil apapun,
korupsi tetaplah korupsi...!!!

Selasa, 05 November 2013

Tuan, Izinkan Aku Mencintaimu Sebagai Saudara...

Teruntuk Tuan yang di seberang sana...

Hai Tuan, apa kabar?
Sepertinya sudah lama ya kita tidak berjumpa. Ah, tidak, bukan lama tak berjumpa, hanya sudah lama kita tidak berkomunikasi. Komunikasi, iya, komunikasi, tentang apapun, tentang segala hal. Setahuku dulu kita tidak pernah kehabisan topik pembicaraan, bahkan hal sepele pun bisa jadi bahan obrolan.

Tuan, siang ini kita berkomunikasi lagi. Yah, walau hanya sekedar lewat chatting, tapi ternyata memang sudah lama sekali kita tidak berbicara. Berawal dari obrolan santai, dibumbui dengan candaan garing, lalu kemudian pembicaraan sedikit serius, setelah itu obrolan kembali menjadi tidak karuan, dan berakhir begitu saja. Masih sama seperti dulu, kau pergi tanpa pamit. Off tiba-tiba, menghilang begitu saja.

Hei Tuan, tiba-tiba tulisanku stuck ketika terdengar bunyi notifikasi di facebookku. Ternyata kau online lagi dan membalas pesanku. Tulisanku terhenti karena bingung harus menulis apa lagi. Tuan, kadang aku bingung, dan ini bukan terjadi yang pertama kali. Berkali-kali kita melewati masa "kosong". Kita seperti menghilang, tanpa ada berita, tanpa ada cerita. Kita tak saling bertegur sapa, seperti hilang begitu saja, seperti tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kemudian, entah apa, entah siapa yang memulai, dan entah kenapa, ketika tersadar ternyata kita sedang berkomunikasi... Berkali-kali kita berusaha pergi, dan berkali-kali kembali lagi... Ah, Tuan, itu hanya perasaanku saja, atau kau juga merasakannya?

Tuan, aku mengutip lagu salah satu grup band Indonesia, "seseorang di sana telah memilikimu... aku kan berdosa bila merindukanmu..." Tapi apakah salah jika memang aku merindukanmu? Hanya sekedar merindukanmu, bukan untuk memilikimu, tak lagi terlintas di benakku untuk memilikimu, Tuan... Tidak lagi. Ini murni hanya rindu, rindu masa-masa dulu, ketika aku masih begitu terobsesi denganmu. Iya, dulu kau menyebutku hanya terobsesi denganmu. Kau tak paham rasa itu, Tuan, karena mungkin kau tak merasakannya.

Tuan, di seberang lautan sana ada hati yang menaruh harapannya padamu. Aku tak mengenalnya, tapi kurasa kau sangat mengenalnya. Dia mengikat hatinya padamu, dan mungkin kau pun menaruh besar harapan padanya. Kuharap kali ini memang benar adanya. Kuharap kau tidak mempermainkannya. Meski ada sedikit rasa kecewaku padamu, tapi ini tak sesakit dulu. Aku mendoakan yang terbaik untukmu Tuan, semoga kau dan dia bahagia selalu.

Tuan, yang perlu kau tahu, sampai sekarang masih terekam jelas cerita kita yang telah lalu. Entah, mungkin kau tak lagi mengingatnya. Tapi bagiku, itu adalah salah satu komponen penyusun sejarahku, secuil cerita yang akan rancu bila dibuang begitu saja. Jadi, akan tetap kusimpan dengan rapi di hati kecil yang sudah tidak berbentuk ini.

Tuan, aku salut padamu, kau tidak membenciku, kau juga tidak menjauhi aku. Sikapmu padaku masih sama seperti dulu, seperti tidak terjadi apa-apa, masih biasa-biasa saja. Jadi, kalau demikian adanya, buat apa aku yang harus merasa gelisah? Sepertinya kau nyaman kita begini. Sepertinya lebih baik kalau kita tetap begini. Begini lebih bebas, begini lebih tak terbatas. Begini, kita bisa seperti saudara, bisa lebih terbuka apa adanya. Dulu memang kau membuatku jatuh cinta, tapi sepertinya kini cintanya berbeda. Tuan, kini izinkan aku mencintaimu sebagai saudara. Ajari aku mencintaimu sebagai salah satu bagian dari keluarga...

Tuan, tanpa terasa sudah banyak yang kutulis tentangmu hari ini. Ini spontanitas, Tuan. Tidak ada yang dilebih-lebihkan. Aku hanya menuliskan apa yang aku rasakan. Maaf kalau kau risih, tapi ini hanyalah ungkapan hati. Ungkapan hati yang hanya bisa kutahan bila sudah berhadapan denganmu...


dari aku
yang diam-diam masih mengingatmu...