Dasar bodoh kau Jun! Bertahan dalam keadaan yang menyiksa seperti ini. Bodoh! Aku bisa merasakan perasaanmu itu. Hanya saja, haruskah aku yang memulainya? Tidakkah kau ingin mengatakannya sendiri? Jun! Sadar! Aku di sini selalu menunggumu. Aku masih percaya dengan kalimat andalanmu, "Biarlah waktu yang akan menjawabnya." Dan kuharap inilah waktunya.
"Rin, maafkan aku. Aku memang bodoh. Kau tahu itu? Aku bodoh. Waktu itu aku sudah mengatakannya padamu, tapi kau malah pergi meninggalkanku. Empat hari yang lalu, aku mengajakmu ke lapangan bola sekedar mengobrol, kau pun pergi lagi meninggalkanku. Aku tahu, tidak mudah bagimu untuk memaafkan aku. Tapi kali ini aku mohon, sadarlah. Maafkan aku..."Tiba-tiba ada seorang pria mengenakan jubah putih berdiri di sebelahku, wajahnya berseri-seri, dan ia tersenyum padaku. Inikah Malaikat Gabriel sang Pembawa Kabar Gembira itu? Aku pun tersenyum, memandang wajahnya membuat hatiku tenang.
"Rin, kembalilah. Bicaralah padanya."
"Belum waktunya kau pulang, Rin. Waktumu masih panjang. Kembalilah, dan dengarkan dia berbicara."Sesaat kemudian aku memejamkan mata, lalu cahaya putih yang begitu menyilaukan menyorot ke arahku. Semakin lama semakin benderang, semakin menyilaukan, lalu aku pun tenggelam di dalamnya.
"Rin, bangunlah, maafkan aku..."Jun, kau menggenggam tanganku begitu erat. Empat tahun aku mengenalmu, baru kali ini aku merasakan genggaman tanganmu, begitu hangat. Andai saja kau akui dari dulu Jun, mungkin keadaan tak akan seperti ini.
"Aku sudah bangun, Jun. Bicaralah, aku ingin mendengarnya langsung darimu."
"Rin, kau sadar? Puji Tuhan... Bu, Rin sudah sadar..."
"Puji Tuhan, kamu sadar Nduk. Ibu panggilkan dokter dulu."
Aku tersenyum, "Bicaralah Jun, sebelum aku pergi. Waktuku tak banyak!"
"Apa maksudmu? Hei, kau baru sadar, jangan terlalu banyak bicara."
"Bicaralah sebelum aku pergi."
"Baiklah... Baiklah... Jangan pergi lagi. Aku sayang padamu. Sudah cukup dua tahun menahan perasaan ini. Sudah cukup Rin, sudah cukup."
"Rin, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Ingat?"Aku spontan langsung mengangguk lemah karena kepalaku masih sakit. Kemudian aku hanya tersenyum sambil melirik ke arah pintu keluar, memberi kode bahwa Jun harus meminta persetujuan dari Ibu. Dan sepertinya Ibu tahu bahwa kehadirannya sangat di tunggu di momen terpenting ini. Tak lama kemudian Ibu datang sendirian. Dokter sedang bersiap-siap dahulu. Jun terlihat terburu-buru menyusul Ibu, kemudian diajaknya ke ranjang tempatku berbaring.
"Aku selalu mengingat kalimatmu itu. Jadi, inikah waktunya?"
"Iya, inilah waktunya. Waktu yang telah menumbuhkan perasaan itu, dan waktu telah membuktikan padaku bahwa perasaan ini tidak bisa dibohongi."
"Dan ternyata rasa sayangku tidak pernah berkurang dimakan waktu."
"Maaf ya, aku memang bodoh, terlalu takut persahabatan kita rusak."
"Bukankah dengan kasih sayang, persahabatan kita akan semakin kuat, Jun?"
"....................."
"kau hanya tersenyum, apa artinya?"
"Sudah cukup lama hatiku kehilangan sahabatnya. Kali ini tidak akan kulepas lagi. Baiklah, ini akan terdengar sedikit aneh, karena tanpa persiapan apa-apa. Tapi, bersediakah kau menjadi calon istriku?"
"Ibu, maukah Ibu menjadi calon mertuaku? Bolehkah aku menjadi menantu Ibu?"Aku tersenyum lega mendengar ucapan Ibu barusan. Terima kasih Tuhan, terima kasih.
"Tapi kalian harus selesaikan kuliah kalian dulu ya, lalu bekerja..." ucap ibu sambil tersenyum.
"Puji Tuhan.... Terima kasih Bu, terima kasih." Jun langsung mencium tangan Ibu.
"Rin, bisakah kelak kau jangan memanjat pohon itu lagi? Aku tidak mau sampai terjadi apa-apa padamu. Aku tidak mau kau sampai terjatuh lagi."
"Kalau aku tidak pernah naik ke puncak pohon markasmu itu, pasti aku tidak akan seberani tadi untuk mendesakmu dan membuatmu mengaku."
"Jangan-jangan kau...."
"Iya, sudah kubaca semua... Terima kasih ya..."
"Curang... hahaa... Tapi tidak apa-apa, akhirnya kau berhasil melawan rasa takutmu terhadap ketinggian."
"Dan itu kau tulis tepat di tanggal 14 Februari, dua tahun lalu, sebelum kau tiba-tiba pergi menghilang tanpa kabar."
"Sudah Rin, sudah. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang kan sudah selesai...."
"Iya, sudah selesai."
"Permisi, maaf ya Mas, bisa tolong tunggu di luar sebentar, pasiennya mau diperiksa dulu."
Perawat dan dokter datang untuk memeriksa keadaanku. Jun melepaskan genggaman tangannya dari tanganku sambil tersenyum, tapi aku menahannya.
"Jun, jangan pergi!"
"Aku tidak akan pergi lagi Rin, aku akan menunggumu di luar. Percayalah."
"Iya, aku percaya."
Aku masih sangat ingat kalimat andalanmu Jun, dan karena itulah aku masih bersabar menunggumu. Ketika kubaca tulisanmu di pohon itu, maka semakin yakinlah bahwa kali ini kau memang kembali untukku.
Biarlah waktu yang menjawabnya...
Maafkan aku yang tidak berani mengaku...
Bila memang berjodoh, cepat atau lambat pasti kembali, Rin...
Untuk kali ini, maafkan aku...
Aku sayang padamu...
Dan biar hanya aku, Tuhan, dan pohon ini yang tahu...
(Jun -14022012-)
"Dokter, sekarang hari apa?"
"Jumat."
"Tanggal berapa?"
"14 Februari"
Aku pun tersenyum...
Tepat dua tahun yang lalu...
Terima kasih, Arjuna...
#THE END#