welcome to the page

welcome to the page

Senin, 24 Februari 2014

Kembali (The End of Story, Part 3) >> (selesai)

Aku ingin mendengar langsung Jun mengatakannya padaku, setelah itu terserah. Bila Tuhan memang menginginkan aku pulang padaNya, aku rela. Yang penting Jun sudah mengatakannya sendiri di depanku.

Dasar bodoh kau Jun! Bertahan dalam keadaan yang menyiksa seperti ini. Bodoh! Aku bisa merasakan perasaanmu itu. Hanya saja, haruskah aku yang memulainya? Tidakkah kau ingin mengatakannya sendiri? Jun! Sadar! Aku di sini selalu menunggumu. Aku masih percaya dengan kalimat andalanmu, "Biarlah waktu yang akan menjawabnya." Dan kuharap inilah waktunya.

"Rin, maafkan aku. Aku memang bodoh. Kau tahu itu? Aku bodoh. Waktu itu aku sudah mengatakannya padamu, tapi kau malah pergi meninggalkanku. Empat hari yang lalu, aku mengajakmu ke lapangan bola sekedar mengobrol, kau pun pergi lagi meninggalkanku. Aku tahu, tidak mudah bagimu untuk memaafkan aku. Tapi kali ini aku mohon, sadarlah. Maafkan aku..."

"Rin, kembalilah. Bicaralah padanya."
Tiba-tiba ada seorang pria mengenakan jubah putih berdiri di sebelahku, wajahnya berseri-seri, dan ia tersenyum padaku. Inikah Malaikat Gabriel sang Pembawa Kabar Gembira itu? Aku pun tersenyum, memandang wajahnya membuat hatiku tenang.

"Belum waktunya kau pulang, Rin. Waktumu masih panjang. Kembalilah, dan dengarkan dia berbicara."
Sesaat kemudian aku memejamkan mata, lalu cahaya putih yang begitu menyilaukan menyorot ke arahku. Semakin lama semakin benderang, semakin menyilaukan, lalu aku pun tenggelam di dalamnya.

"Rin, bangunlah, maafkan aku..."

"Aku sudah bangun, Jun. Bicaralah, aku ingin mendengarnya langsung darimu."

"Rin, kau sadar? Puji Tuhan... Bu, Rin sudah sadar..."

"Puji Tuhan, kamu sadar Nduk. Ibu panggilkan dokter dulu."

Aku tersenyum, "Bicaralah Jun, sebelum aku pergi. Waktuku tak banyak!"

"Apa maksudmu? Hei, kau baru sadar, jangan terlalu banyak bicara."

"Bicaralah sebelum aku pergi."

"Baiklah... Baiklah... Jangan pergi lagi. Aku sayang padamu. Sudah cukup dua tahun menahan perasaan ini. Sudah cukup Rin, sudah cukup."
Jun, kau menggenggam tanganku begitu erat. Empat tahun aku mengenalmu, baru kali ini aku merasakan genggaman tanganmu, begitu hangat. Andai saja kau akui dari dulu Jun, mungkin keadaan tak akan seperti ini.

"Rin, biarlah waktu yang akan menjawabnya. Ingat?"

"Aku selalu mengingat kalimatmu itu. Jadi, inikah waktunya?"

"Iya, inilah waktunya. Waktu yang telah menumbuhkan perasaan itu, dan waktu telah membuktikan padaku bahwa perasaan ini tidak bisa dibohongi."

"Dan ternyata rasa sayangku tidak pernah berkurang dimakan waktu."

"Maaf ya, aku memang bodoh, terlalu takut persahabatan kita rusak."

"Bukankah dengan kasih sayang, persahabatan kita akan semakin kuat, Jun?"

"....................."

"kau hanya tersenyum, apa artinya?"

"Sudah cukup lama hatiku kehilangan sahabatnya. Kali ini tidak akan kulepas lagi. Baiklah, ini akan terdengar sedikit aneh, karena tanpa persiapan apa-apa. Tapi, bersediakah kau menjadi calon istriku?"
Aku spontan langsung mengangguk lemah karena kepalaku masih sakit. Kemudian aku hanya tersenyum sambil melirik ke arah pintu keluar, memberi kode bahwa Jun harus meminta persetujuan dari Ibu. Dan sepertinya Ibu tahu bahwa kehadirannya sangat di tunggu di momen terpenting ini. Tak lama kemudian Ibu datang sendirian. Dokter sedang bersiap-siap dahulu. Jun terlihat terburu-buru menyusul Ibu, kemudian diajaknya ke ranjang tempatku berbaring.

"Ibu, maukah Ibu menjadi calon mertuaku? Bolehkah aku menjadi menantu Ibu?"

"Tapi kalian harus selesaikan kuliah kalian dulu ya, lalu bekerja..." ucap ibu sambil tersenyum.

"Puji Tuhan.... Terima kasih Bu, terima kasih." Jun langsung mencium tangan Ibu.
Aku tersenyum lega mendengar ucapan Ibu barusan. Terima kasih Tuhan, terima kasih.

"Rin, bisakah kelak kau jangan memanjat pohon itu lagi? Aku tidak mau sampai terjadi apa-apa padamu. Aku tidak mau kau sampai terjatuh lagi."

"Kalau aku tidak pernah naik ke puncak pohon markasmu itu, pasti aku tidak akan seberani tadi untuk mendesakmu dan membuatmu mengaku."

"Jangan-jangan kau...."

"Iya, sudah kubaca semua... Terima kasih ya..."

"Curang... hahaa... Tapi tidak apa-apa, akhirnya kau berhasil melawan rasa takutmu terhadap ketinggian."

"Dan itu kau tulis tepat di tanggal 14 Februari, dua tahun lalu, sebelum kau tiba-tiba pergi menghilang tanpa kabar."

"Sudah Rin, sudah. Tidak usah dibahas lagi. Sekarang kan sudah selesai...."

"Iya, sudah selesai."

"Permisi, maaf ya Mas, bisa tolong tunggu di luar sebentar, pasiennya mau diperiksa dulu."

Perawat dan dokter datang untuk memeriksa keadaanku. Jun melepaskan genggaman tangannya dari tanganku sambil tersenyum, tapi aku menahannya.

"Jun, jangan pergi!"

"Aku tidak akan pergi lagi Rin, aku akan menunggumu di luar. Percayalah."

"Iya, aku percaya."

Aku masih sangat ingat kalimat andalanmu Jun, dan karena itulah aku masih bersabar menunggumu. Ketika kubaca tulisanmu di pohon itu, maka semakin yakinlah bahwa kali ini kau memang kembali untukku.

Biarlah waktu yang menjawabnya...
Maafkan aku yang tidak berani mengaku...
Bila memang berjodoh, cepat atau lambat pasti kembali, Rin...
Untuk kali ini, maafkan aku...
Aku sayang padamu...
Dan biar hanya aku, Tuhan, dan pohon ini yang tahu...
(Jun -14022012-)

"Dokter, sekarang hari apa?"

"Jumat."

"Tanggal berapa?"

"14 Februari"

Aku pun tersenyum...
Tepat dua tahun yang lalu...
Terima kasih, Arjuna...

#THE END#

Kembali (The End of Story, Part 2)


"Sebenarnya aku, juga.... Juga menyimpan perasaan itu Bu."
"Sejak kapan?"
"Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku mulai bersama Nay......."

"Jadi?"

"Iya, kali ini aku akan mengaku. Aku benar-benar bodoh. Aku sudah berbuat kesalahan. Dua tahun aku bersama Nay, berusaha menepis semua perasaan pada Rin, tapi justru hati dan pikiranku malah tertuju pada Rin. Bersama Nay, aku tidak bisa jadi diriku sendiri. Bersama Nay, aku merasa tidak leluasa. Bahkan teman-temanku bilang bahwa sejak bersama Nay aku malah menjadi seperti orang lain. Aku bodoh Bu, aku terlalu takut untuk mengakui kalau hati ini juga merasakan apa yang Rin rasakan. Aku takut nanti malah memperburuk keadaan."

"Nak Jun, seharusnya Nak Jun tidak perlu ragu dengan perasaan itu. Tidakkah Nak Jun merasakan ketulusan Rin? Maaf, bukan Ibu ingin ikut campur, tapi kali ini Ibu memang tidak bisa membiarkan keadaan ini. Lihat Rin sekarang, hanya terbaring di ranjang rumah sakit dalam keadaan koma, sudah tiga hari dan entah kapan akan sadar."

"Maafkan aku Bu, maafkan aku..."
Kulihat Ibu meneteskan air mata. Wajahnya memang terlihat tegar, tapi air mata itu adalah bukti bahwa sebenarnya Ibu juga rapuh. Jun pun akhirnya tak bisa membendung lagi, air matanya mengalir deras. Baru kali ini aku melihat Jun seemosional itu. Lalu kemudian, aku merasa pipiku juga basah. Kenapa aku ikut menangis? Aku lelah, aku ingin istirahat. Namun betapa kagetnya aku ketika membalikkan badan dan mendapati tubuhku sedang terbaring di ranjang. Aku segera mendekati, kemudian melihat, aku terlihat sangat pucat, dan ada banyak alat yang tersambung di tubuhku. Aku keluar dari ragaku? Oh, tidak! Jangan! Jangan sekarang. Aku belum mau mati. Aku ingin mendengar langsung Jun mengatakannya padaku, setelah itu terserah. Bila Tuhan memang menginginkan aku pulang padaNya, aku rela. Yang penting Jun sudah mengatakannya sendiri di depanku.



Bersambung......

Kembali (The End of Story, Part 1)

Kini aku duduk di antara mereka berdua, tapi aneh, mereka tak menyadari keberadaanku. Aku seperti tak terlihat. Tunggu, ini seperti di alam lain. Aku berdiri, kemudian melambaikan tanganku di depan wajah mereka satu persatu, tapi ternyata mereka tetap tidak melihatku. Kali ini aku mencoba menyentuh mereka, tapi betapa kagetnya aku ketika tanganku malah menembusi tubuh mereka. Tidak! Ini tidak mungkin. Tidak mungkin aku sudah mati. Aku panik, semakin menggila, aku malah berusaha memukul-mukul mereka, tetap tidak bisa. Kemudian aku mencari sesuatu, apapun itu, untuk bisa kusentuh, untuk memberi tanda bahwa aku ada di antara mereka. Sial! Aku masih tetap tidak bisa. Aku putus asa, lalu aku mencoba duduk lagi, berusaha mengatur nafasku, mencoba untuk tenang. Aku ingin mendengarkan percakapan mereka.

"Maaf, Bu. Maafkan aku."

"Sudahlah Nak Jun, tidak ada yang perlu dimaafkan, tidak ada yang perlu disesali. Semua sudah terjadi."

"Aku tidak pernah menyangka kalau perasaan Rin ternyata sedalam itu."

"Ibu tidak pernah ingin mencampuri segala urusan Rin, namun satu hal yang Ibu tahu, selama dua tahun ini sudah banyak pria yang berusaha mendekati Rin, tapi Rin selalu menghindar. Rin seperti menutup diri dari pria-pria itu. Sepertinya Rin hanya menunggu seseorang. Mungkin Nak Jun tahu siapa orang yang Ibu maksud."

"Kupikir dia mengerti. Aku hanya takut persahabatan kami rusak."

"Dan tanpa Nak Jun sadari, Nak Jun sendiri yang sudah merusaknya."

"Aku? Merusaknya?"

"Nak Jun memilih bersama orang lain, menghilang tanpa kabar, tanpa alasan, tanpa kejelasan dan kepastian. Kemudian tiba-tiba muncul lagi tanpa merasa berbuat salah, seolah tak terjadi apa-apa. Andai dulu Nak Jun menjelaskan semuanya, Rin tidak mungkin sesakit itu."

"Kupikir Rin tahu kalau aku sengaja begini agar persahabatan kami tetap terjaga."

"Nak Jun tidak pernah mengatakan padanya, bagaimana dia bisa tahu?"

"Bu, Rin juga tidak pernah mengatakan tentang perasaannya padaku."

"Nak Jun, Rin itu perempuan. Tidak mungkin dia mengatakannya terlebih dahulu."

"Ini sudah jaman emansipasi wanita Bu."

"Baiklah, tidak usah menggurui Ibu tentang emansipasi."

"Maaf Bu, tidak bermaksud begitu."

"Baiklah, tidak usah bicara tentang itu. Sekarang Ibu ingin tahu, bagaimana perasaan Nak Jun sebenarnya pada Rin?"

"...................."

"Nak Jun? Kenapa diam?"

"Sebenarnya aku............"

"Kenapa?"

"Sebenarnya aku, juga.... Juga menyimpan perasaan itu Bu."

"Sejak kapan?"

"Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku mulai bersama Nay......."


Bersambung.......

Pohon di Tepi Lapangan Bola

Aku bodoh, kenapa kemarin aku menghindar dari Jun? Padahal sebenarnya hati ini sangat merindukannya. Wajar bila para pria sering mengatakan bahwa gengsi seorang wanita terlalu tinggi. Aku terlalu gengsi untuk mengakuinya. Tapi, aku berhak menghindar darinya. Aku sudah terlalu lelah. Dia pergi begitu saja, tanpa alasan, tanpa pesan, lalu kini dia kembali seenaknya seperti tidak terjadi apa-apa dan ingin keadaan tetap sama seperti sedia kala. Enak saja! Ini hati, Bung, bukan halte yang didatangi untuk pergi lagi, dan kemudian datang lagi untuk pergi lagi. Sudah cukup!

Sore ini aku memutuskan untuk kembali ke lapangan bola lagi untuk mengobati rasa rindu itu. Lapangan bola ini adalah salah satu tempat yang dulu sering kami kunjungi. Dulu aku sangat suka duduk di bawah pohon akasia ini lalu menyandarkan tubuh di batangnya yang kokoh. Sementara Jun lebih memilih memanjat ke puncaknya.

"Di sini lebih enak, tidak ada yang bisa menggangguku, tidak ada yang tahu apa yang kulakukan di sini..."

"Kau menyindirku! Mentang-mentang aku sering mengganggumu..."

"Baguslah kalau kau merasa. Hehehee..."

"Sial! Tunggu kau ya! Aku akan naik kesitu dan menjitakmu!"

"Sudah, jangan sok berani, aku tahu kau takut ketinggian. Nanti kau jatuh."

"Nah, sekarang kau mengejekku!"

"Hahahahaaa... sayang sekali kau tidak bisa naik ke sini. Padahal dari sini kau bisa melihat banyak hal yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Pemandangannya indah..."

"Bawa aku naik!"

"Oh, tidak bisa. Kau harus naik sendiri."

"Dasar pelit! Oke, suatu saat aku pasti akan naik kesitu."

Itu percakapan kami tiga tahun yang lalu. Mungkin inilah saatnya aku harus naik. Jujur saja, mungkin bagi Jun tingginya tak seberapa, tapi bagiku tempatnya memang terlihat sangat tinggi, dan aku masih saja takut ketinggian. Tapi tidak apa. Aku harus bisa melawan rasa takutku. Aku ingin melihat pemandangan yang indah itu. Mungkin sekarang tak lagi seindah dulu. Andai keadaannya masih seperti dulu, pasti akan lebih indah.

Langkah pertama, kedua, ketiga, dan terus sampai kesepuluh. Aku berhasil memanjati batang pohon ini, sudah separuh jalan. Ternyata tidak begitu sulit. Hanya saja ketika kulihat ke bawah, astaga..... sudah cukup tinggi. Dan ketika kulihat ke atas ternyata masih jauh. Mungkin masih butuh sekitar sepuluh langkah lagi untuk sampai di atas. Kulanjutkan langkahku, tak peduli lagi dengan ketinggian. Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Hap! Akhirnya sampai juga. Ternyata di puncak pohon ini ada papan yang disusun menyerupai pos pengintai.Tidak terlalu luas, mungkin hanya sekitar satu meter persegi, tapi sangat nyaman. Pantas saja Jun betah berlama-lama di sini, ternyata memang sangat menyenangkan. Sesaat aku duduk dan bersandar di batang pohon ini, menikmati angin sepoi-sepoi dan suara burung berkicau.

Namun detik berikutnya perhatianku tertuju  pada sesuatu yang ada di batang pohon ini. Kulihat batang pohon ini dikikis, kulitnya dikelupas, dan ada tulisan tangan seseorang di batang yang terkelupas itu. Di bagian bawahnya tertulis "Jun - 14022012". Ternyata itu tulisan Jun. Kemudian aku mulai membacanya. Betapa kagetnya aku ketika membaca tulisan Jun. Hatiku langsung terasa ngilu, detak jantungku tak karuan, dan kepalaku mendadak pusing. Aku kehilangan keseimbangan, lalu semuanya mendadak berubah menjadi gelap.

"BRUUUK...!!!"
Hanya itu yang kudengar. Lalu selebihnya aku tak ingat apa-apa. Hanya gelap, gelap, dan gelap.

Matahari Senja

senja itu, di tepi lapangan bola...

"aku lelah, baru pulang kerja, kau mau apa Jun?"
"hanya ingin mengobrol denganmu, Rin..."
"hanya itu?"
"Iya..."
"Kalau begitu, maaf. Mungkin lain waktu."
"Tunggu sebentar, Rin."
"Aku lelah, Jun. Butuh istirahat."
"Duduklah sebentar di sini bersamaku, menikmati langit sore ini."
"Untuk apa lagi?"
"Tidak, tidak ada maksud apa-apa."
"Kau selalu begitu!"
"Apanya?"
"Iya, kau selalu begitu, selalu tanpa alasan yang jelas."
"Kau pun begitu. Semua hal selalu butuh alasan."
"Tentu! Kau hidup di dunia ini pun karena ada alasannya."
"Apa?"
"Karena kau dilahirkan, dan karena kau belum mati."
"Lalu sekarang, kau inginkan alasan apa?"
"Bisakah kau jelaskan tentang ini semua?"
"Tentang apa?"
"Tentang kita... Ini kau sebut apa?"
"....."
"Mengapa begini?"
"....."
"Hey, aku bicara padamu Jun... Jawab aku..."
"....."
"Bagus, kau hanya diam, semakin jelas..."
"Tunggu Rin, aku bisa jelaskan..."
"Ayo jelaskan, sudah terlalu lama aku menunggu penjelasanmu..."
"Aku hanya bingung bagaimana menjelaskannya."
"Sekarang begini saja, aku hanya ingin tahu, berapa lama lagi aku harus begini?
"Begini apanya?"
"Atau... Beri aku alasan yang tepat, mengapa aku harus seperti ini?"
"Tunggu Rin, sebenarnya kau sedang membicarakan apa?"
"Kau pura-pura bodoh atau sengaja ingin membodohiku, Jun?"
"........"
"Kau diam lagi. Baiklah kalau begitu. Cukup sampai disini."
"Rin..."
Aku muak..."
"Rin..."
"Sudah, aku mau pulang, aku lelah, silahkan nikmati sendiri matahari senjamu itu..."
"Rin.....!!!!"
"Terima kasih untuk ketidak-pastianmu selama ini. Kau menang, aku menyerah, dan sekarang aku ingin pulang..."
"....."

matahari senja tetap di sana, seakan tak ingin berlama-lama menyaksikan mereka, semakin mempercepat lajunya.... gelap pun segera meraja...

Entah...

hei, tuan, sekarang aku seperti kehilangan semangat... tak ada lagi keinginanku untuk melakukan kebiasaan kita dulu... mungkin kau masih melakukannya, mungkin juga tidak, aku tak tahu... tapi yang pasti, aku tak mau lagi... kini aku hanya ingin tetap menjadi diri sendiri, yang sejak sebelum, saat, dan tak lagi mengenalmu, aku selalu menulis... jadi, biarkan aku menulis, hanya menulis.... menuliskan semuanya...

aku hanya akan menulis bahwa dulu kita selalu menonton arsenal bertanding, walau di rumah masing-masing dan hanya berkomunikasi lewat telepon saja...
aku hanya akan menulis bahwa dulu kita juga selalu menonton stand up comedy bersama, dan masih di rumah masing-masing, lalu kita tertawa bersama...
dan aku hanya akan menulis bahwa dulu kita sangat suka mendengarkan lagu the messenger milik linkin park karena liriknya sangat mengena...
oh iya, aku nyaris lupa, dulu kita juga sering tanding bilyard via online, iya kan?
kau selalu berhasil mengalahkanku, sampai akhirnya kau kasihan dan memilih mengalah agar aku menang...
itu pun kalau kau ingat...
kalau tak ingat juga tak apa, aku hanya akan menuliskannya, tak akan lagi kita mengulangnya...

tuan, aku hanya ingin semangat baru...
bisakah hal-hal yang akan kulakukan nanti tidak perlu mengingatkanku padamu?
bagaimana aku bisa lupa bila semua hal yang kulakukan ternyata adalah kebiasaan kita dulu?
aku tahu,
semuanya hanya akan jadi kenangan...
entah, apa kau juga mengenangnya?
atau hanya kau anggap angin lalu saja?
entah...

Dua Tahun Berlalu

ketika itu senja, kita duduk di tempat yang sudah lama sekali tidak pernah kita kunjungi... kita hanya berdua, iya, hanya berdua, seperti waktu itu... seperti dua tahun yang lalu... lalu kau membuka percakapan kita...

"sudah lama sekali kita tidak kesini... tapi tempat ini tidak ada yang berubah... masih sama seperti terakhir kita kunjungi..."

"iya, masih sama...."

"apa kabarmu? sudah dua tahun kita tidak bertemu, aku kehilangan kabarmu..."

"seperti yang kau lihat sekarang."

"kau terlihat baik..."

"ya, begitulah..."

"tapi kau sedang tidak baik. aku tahu itu."

"sok tahu..."

"sudahlah, jangan ketus, hari ini aku meminta bertemu denganmu bukan untuk ribut..."

"lantas untuk apa lagi? bukankah kau sudah memilih untuk menjauh? dan aku sengaja tidak menghubungimu lagi agar kau tenang menjalani kehidupan barumu... lalu sekarang? untuk apa kau kembali lagi?"
aku terbawa emosi, segera saja aku meluncurkan kalimat yang cukup pedas. itu semua di luar kendali, aku sendiri tak sadar kenapa aku bisa mengucapkan kalimat itu. sungguh, emosi yang sedang menguasaiku saat itu. dan kau pun terdiam sesaat...

"aku rindu padamu..."

"omong kosong..."

"aku serius...  aku merindukan kebersamaan kita yang dulu... "

"jadi begini sikapmu di belakangnya...? sudahlah, jangan memberi harapan-harapan kosong lagi padaku, aku sudah lelah... cukup..."

"aku dan dia sudah putus..."
kali ini aku yang terdiam, tersentak mendengar kalimatmu barusan. masih setengah tak percaya dengan apa yang kudengar. aku tak yakin, tapi sepertinya memang begitulah yang kudengar. lalu selanjutnya aku pun bingung, apakah harus senang atau sedih mendengarnya....

"ada sesuatu yang beda. aku pun bingung itu apa. aku memang sayang padanya, tapi entah kenapa dua tahun berjalan, rasanya begitu hampa, seperti ada yang hilang. teman-temanku bilang, sejak bersamanya aku jadi berubah. aku sendiri tak mengerti apa yang salah. dia pun bilang begitu, semakin lama aku semakin aneh."

"apa? kau ini bicara apa?"

"dengarkan saja dulu..."

"apa aku masih punya hak untuk mendengar? bukankah dulu kau memilih dia pun aku tak pernah tahu alasannya..."

"sudah, jangan ketus lagi, terserah apa katamu, yang jelas sekarang dengarkan saja dulu..."

"terserah kau..."

"hmmmh, baiklah, kuakui, dua bulan terakhir adalah yang terparah, aku mulai dingin dengannya, dan ternyata aku mulai menjauhinya. yang ada di pikiranku saat itu hanya kau... aku mulai seperti orang gila..."

"kenapa? bukankah kau memang gila?"

"iya, aku gila. aku baru sadar kalau aku meninggalkanmu, melupakanmu begitu saja tanpa kalimat perpisahan... tanpa alasan..."

"untuk apa? bukankah memang tak perlu? aku bukan siapa-siapa... aku hanya orang yang dulu begitu terobsesi mengejar-ngejar kau... yang kemudian kau tinggalkan setelah kau beri banyak harapan..."

"aku salah... maafkan aku...."
lalu kita terdiam lagi, larut dengan pikiran masing-masing... di satu sisi aku bahagia, ternyata jauh di dalam hatimu, aku punya tempat yang spesial. tapi di sisi lain, aku juga kecewa. kau tak punya ketegasan. tiga tahun kita jalani hubungan yang entah disebut sebagai apa, lalu kemudian kau menghilang begitu saja, dan kudengar kabar kau sudah bersama dia. dan sekarang tiba-tiba kau muncul lagi dengan sejuta ceritamu yang entah benar atau tidak. aku tak tahu... kau kecewakan dia... aku tahu rasanya kecewa... dua tahun lamanya aku seperti gadis putus asa, menutup hati bagi setiap lelaki, hanya karena menunggumu kembali. dan benar saja, kini kau memang kembali, tapi aku wanita, aku tahu bagaimana perasaannya... aku tahu... aku sangat tahu...

"jadi sekarang apa maumu?"

"aku ingin kau maafkan aku..."

"iya, sudah kumaafkan..."

"begitu sajakah?"

"lantas, kau mau apa lagi?"

"aku ingin kita yang dulu..."

"setelah semua ini, kau ingin kita seperti dulu lagi? di atas kekecewaannya? tidak!..."

"kenapa? bukankah dulu kau pernah sangat menginginkanku? kau tidak rindu saat kita menonton stand up comedy bersama? kau tidak rindu saat kita menonton arsenal bertanding? dan terakhir, apa kau tidak rindu saat kita bernyanyi lagu "the messenger" bersama? bukankah dulu kita pernah saling menguatkan? bukankah dulu kita pernah saling menyemangati? kemana semua yang dulu? tidakkah kau ingin mengulang semua itu?"

"hey, ada apa denganmu? kenapa jadi kau yang bertanya seperti itu? harusnya aku yang bertanya seperti itu... dengar baik-baik ya... aku memang pernah sangat menginginkanmu, aku sangat rindu saat kita nonton stand up comedy bersama, menonton arsenal bertanding, dan menyanyikan lagu "the messenger" berdua, aku sangat merindukan itu semua... sangat...!!! tapi tidakkah kau sadar kalau kau yang sudah menghancurkan semuanya? aku memang sangat merindukan kita yang dulu, tapi sekarang semuanya sudah berbeda..."
lagi, ada jeda lagi di antara kita. aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu sekarang. yang jelas, sekarang aku sedang sibuk mengatur nafasku dan detak jantungku yang bekerja dua kali lebih cepat. sial! air mataku jatuh...

"jujur, aku masih sayang padamu, tapi aku mulai lelah... tiga tahun bersamamu tanpa kejelasan, dan dua tahun bertahan dalam pengharapan, seperti sudah menguras habis energiku..."

"kita bisa mulai lagi dari awal... aku memang bodoh, aku memang jahat sudah mempermainkan perasaanmu... maafkan aku..."

"aku juga minta maaf, sepertinya tidak bisa sekarang..."
aku berdiri dan beranjak dari bangku taman itu, berjalan menjauhi kau yang masih duduk terdiam di situ...

"aku akan menunggumu..."
tak kuhiraukan... aku terus berjalan... menjauh darimu... hatiku hancur... kau kembali tapi kau menghancurkan hatinya... entah harus kuterima atau tidak... ini adalah buah dari penantianku, tapi hati masih terselip ragu... seberapa lama lagi hati ini harus menderita karenamu? entah...

Flashback...

kau tahu? entah kenapa sampai sekarang aku masih sering melakukan kebiasaan kita dulu yang konyol. bukan karena aku tak bisa move on darimu, tapi karena.... kurasa hal-hal itu masih menyenangkan untuk dilakukan...

aku masih suka tertawa terbahak-bahak ketika menonton stand up comedy, bahkan terkadang sampai sulit untuk berhenti. kadang aku merasa seperti orang gila, karena kerap kali aku menontonnya sendirian. dulu, meski sendirian, setidaknya aku tahu di seberang sana kau juga sedang menontonnya. tapi kini aku yakin kalau aku sedang menontonnya seorang diri...

aku masih suka tidur larut malam bila ada barclays premier league. alasannya tentu saja karena menantikan arsenal bertanding. bukankah dulu kita selalu berteriak seperti orang gila ketika RVP berhasil mencetak gol dengan kaki kirinya? meski hanya lewat telepon, tapi kita sering lupa kalau saat itu sudah lewat jauh dari tengah malam. atau ketika ada Cazorla dan Giroud menggantikan kejayaan RVP, kita tetap menggila...

aku juga masih suka mendengarkan lagu-lagu Linkin Park. menurutku, mendengarkan suara Chester Bennington ketika jenuh melanda adalah hal yang paling menyenangkan. teriakannya seperti membangkitkan semangat. mendengarkan si jagoan rap Mike Shinoda pun bisa mendamaikan hati... atau ketika insomniaku menyerang, "The Messenger" akan selalu mengalun di telinga, menemaniku terjaga hingga akhirnya terlelap dan pagi tiba...

masih banyak kebiasaan kita yang lainnya yang masih kulakukan, iya, masih... sekali lagi, bukan karena aku tak bisa move on darimu, tapi karena hal-hal itu memang menyenangkan. terima kasih dulu kau telah mengajarkanku banyak hal. setidaknya kini aku tahu bagaimana caranya menumpahkan air mata tanpa orang tahu bahwa sebenarnya hati sedang sedih.... (kau pasti tahu kalau aku pasti akan tertawa sampai mengeluarkan air mata ketika menonton stand up comedy...)

*terkadang, flashback itu menyenangkan*