Waktu itu pagi menjelang siang, tapi matahari masih betah bersembunyi dibalik hujan. Kau datang menghampiri si Tuan, karena si Tuan mengajakmu menemaninya pergi ke suatu tempat, entah kemana. Kebetulan aku ingin pergi keluar, menuju ke persimpangan depan jalan. Hujan membuatku enggan untuk mengendarai motorku sendiri, dan si Tuan pun mengizinkan aku menumpang di mobilnya hingga di persimpangan.
Jujur, aku grogi karena harus satu mobil denganmu. Padahal kau terkenal sangat pendiam, tapi entah kenapa, sudah satu tahun kita terlibat di satu pekerjaan yang sama, masih saja aku belum bisa mengendalikan degup jantungku tiap kali harus berhadapan denganmu. Tapi apa boleh buat, ini satu-satunya jalan agar aku bisa sampai di persimpangan depan. Sekuat tenaga aku berusaha menahan rasa grogi, jangan sampai kau mendengar suara degup jantung ini.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Kita terjebak di dalam satu ruang yang cukup sempit, hanya berdua. Iya, kita terkurung dalam mobil si Tuan. Si Tuan pergi keluar karena ada yang tertinggal. Kita berdua hanya terdiam. Ada jeda waktu yang cukup lama, dan kita malah membiarkan waktu itu lewat begitu saja, tanpa ada sedikitpun niat untuk mengisinya. Tik, tik, tik, waktu berdetik. Tuk, tuk, tuk, suara tetesan hujan mengguyuri atap mobil. Sementara si Tuan masih belum juga kembali, ia meninggalkan kita berdua dengan mesin mobil yang masih menyala. Kau masih saja diam, malah memilih sibuk membalik-balik halaman koran yang sudah kadaluwarsa.
Aku pun mulai jengah, tak tahan dengan situasi ini. Aku tak biasa duduk diam berlama-lama hanya berdua namun tanpa suara. Akhirnya kuputuskan untuk memulai angkat bicara.
"Kak, Kakak tinggal dimana sih?"
"Sukarela."
"Oh, Sukarela, deket rumahku berarti Kak."
"Iya, waktu itu aku pernah lihat kamu di Naskah. Kamu tinggal di Naskah kan? Di mananya?"
"Di Perintis Kak. Waktu itu aku juga pernah lihat Kakak pas ada yang nikahan. Waktu itu aku panitia meja kado. Mau manggil Kakak tapi takut salah orang."
"Kapan?"
"Udah lama sih, kalo nggak salah pas awal tahun."
"Awal tahun ya? Hmm, nikahan siapa ya?"
"Itu lho, yang tentara itu, Mas Agus."
"Oh, iya, iya, inget. Eh iya, kamu alumni SMP 40 bukan sih?"
"Bukan Kak. Emang dulu Kakak di SMP 40?"
"Iya, aku di 40."
"Kakak tamat tahun berapa?"
"Hmm, 2006 kalo gak salah. Iya, 2006."
"Itu tamat SMP?"
"Iya."
"Wah, berarti tamat SMAnya tahun 2009 ya? Sama kayak aku dong."
"Iya, tamat SMAnya 2009."
"Eh, tunggu dulu, tapi Kakak lahir tahun berapa?"
"Tahun '90."
"Oh, lebih tua setahun dari aku."Tanpa terasa kita sudah mengobrol banyak. Sampai akhirnya si Tuan datang dan memecah obrolan kita. Kita kembali saling diam, tak lagi bersuara, seperti memang obrolan kita sudah habis sampai di situ saja.
Hei, tak kusangka kau begitu ceria ketika kuajak berbicara. Gayamu polos seperti anak kecil. Apalagi ketika kau bertanya, "Kamu alumni SMP 40 bukan?". Kau memegang jok sandaran tempat dudukku sambil memasang tampang antusias, seperti anak kecil yang ingin tahu sesuatu. Kau tahu, senyummu sangat manis waktu itu. Aku masih sangat ingat ekspresi itu.
Aku seperti menemukan sisi lain dari dirimu. Inilah dirimu yang sesungguhnya. Yang selama ini terlihat pendiam ternyata sangat suka bercerita. Yang kukira pendiam ternyata punya senyum cerah dan wajah ceria. Ah, sayang sekali waktu berjalan begitu cepat. Andai masih ada waktu untuk kita, pastilah akan ada banyak cerita di antara kita. Ingin kukatakan, "Hei, Kakak, ternyata kita bertetangga."
"Yang lucu itu yang polos seperti anak-anak, bukan yang kekanak-kanakan..." -Jacob-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar