welcome to the page

welcome to the page

Sabtu, 28 Juli 2012

In Between

Let me apologize to begin with
Let me apologize for what I'm about to say
But trying to be genuine was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between

Let me apologize to begin with
Let me apologize for what I'm about to say
But trying to be someone else was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between



Between my pride and my promise
Between my lies and how the truth gets in the way
And things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is none


Let me apologize to begin with
Let me apologize for what I'm about to say
But trying to regain your trust was harder than it seemed
And somehow I got caught up in between



Between my pride and my promise
Between my lies and how the truth gets in the way
The things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is none
The only thing that's worse than one is none



And I cannot explain to you
And anything I say or do or plan
Fear is not afraid of you
But guilt's a language you can understand
I cannot explain to you
And anything I say or do
I hope the actions speak the words they can


For my pride and my promise
For my lies and how the truth gets in the way
The things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is

Pride and my promise
Between my lies and how the truth gets in the way
The things I want to say to you get lost before they come
The only thing that's worse than one is none
The only thing that's worse than one is none
The only thing that's worse than one is none





a song in the morning
_Linkin Park_
about you, just you...

Jumat, 27 Juli 2012

Prime Time (Masa SMA)

Lagi-lagi aku melanggar jam malamku, berkali-kali ingin bertualang di alam mimpi lebih awal namun berkali-kali juga aku gagal... Entah apa sebenarnya yang dimau diri ini, terkadang jiwa dan raga seperti saling memberontak satu sama lain. Ketika jiwa ingin bertapa dalam sunyinya, raga memaksa untuk terus bekerja. Ketika raga protes ingin rehat, sang jiwa malah mendebat. Seperti ada dua pribadi yang telah menyatu, terperangkap dalam diriku, dan akhirnya sibuk ingin memenuhi keinginannya masing-masing.



Malam ini terlarut dalam nostalgia semasa SMA.
Seragam putih abu-abuku itu, entah sudah bersemayam dimana.
Aku rindu seragam itu, sayangnya tak mungkin lagi kusentuh.
Foto-foto yang menuturkan kisah gila bersama teman-teman kurang waras pun lenyap tak bersisa.
Ternyata di jaman secanggih ini pun,
satu-satunya memory card yang paling ampuh adalah "OTAK" kita sendiri.
Kertas-kertas gambar wajah lugu kita boleh saja musnah,
tapi memori di otak ini tentang kegilaan kita tak akan pernah punah.
Hanya waktu dan ajal yang bisa menghapusnya...




Terpatut diri di depan layar ini, haruskah ditemani sang kopi? Sementara instrumen terus mengalun berulang kali, memori gila semasa SMA itu semakin menjadi-jadi.
Obsesi lama yang ingin menuliskannya dalam satu cerita, sempat musnah begitu saja.
Kini ia kembali lagi, memanggil-manggil lagi,
seolah tak ingin lari dari memori, seakan mengingatkan bahwa kapasitas otak pun terbatas, memintaku untuk melanjutkan lagi obsesi itu.





Entah kapan, entah akan berawal dimana, entah akan menceritakan tentang apa...
Sepertinya aku perlu mengumpulkan lagi kepingan-kepingan cerita itu,
perlu kususun lagi, agar lebih mantap untuk dinikmati.
Secuil kisah gila semasa SMA, namun kenangannya hingga menutup usia.




23:51, malam haru biru,
Howard Shore mengalun merdu,
dan kalian menari indah di memoriku...

miss u all my friends...
SHS #18, XIIA3





Cermin vs Hati

Satu hal yang paling menjijikkan adalah ketika membohongi diri sendiri...
Bukan hal yang baru, dan tidak munafik,
yakinlah, semua orang pasti pernah melakukannya, tak terkecuali aku...

Banyak opini yang berkata, CERMIN adalah benda yang paling jujur.


Kata siapa?
Percaya begitu saja?
Tidak sadarkah bahwa di depan cermin pun kita sering berdusta?
Seringkali kita memakai topeng di depannya,
memakai rambut palsu, gigi palsu, ber-make-up tebal, bahkan senyum pun palsu...
Berkata di depan cermin, "Aku baik-baik saja" sambil tersenyum,
hanya dengan tujuan mensugesti bahwa diri kita baik-baik saja,
padahal dalam hati menyangkalnya...
Di dalam hati memberontak karena menahan sakitnya dibohongi...

CUKUP...!!
Cukuplah berbohong pada diri sendiri,
di depan CERMIN yang "katanya" jujur pun masih bisa berbohong...
jika ingin jawaban yang serba jujur, coba tanyakan pada"nya", dia yang selalu kita dustai...
Dia yang sebenarnya jujur, namun selalu disangkal dan tak diakui...



Tanyakan pada dia, sang HATI...

Kamis, 26 Juli 2012

Kau dan Sepeda

Aku tidak tahu mengapa kau begitu tergila-gila dengan benda mungil itu.
Menurutku, benda itu biasa saja.
Kerangka besi, beroda dua, memiliki gerigi, dan rantai sebagai penghubungnya.
KESEIMBANGAN... Itu kata kuncinya.

Apakah kau menyukai keseimbangan?
Atau ada kisah berharga di baliknya, yang membuatmu jatuh cinta padanya?
Atau mungkin kau merasa sangat gagah ketika mampu melawan kecepatan angin saat mengayuhnya?
Entah, kau tak pernah bisa mengungkapkannya,
kau tak pernah bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya...
Kau hanya berkata, "Yang hanya perlu kau tahu adalah AKU SANGAT MENCINTAI SEPEDA..."



Lalu di satu waktu...
Pernah kau bertanya, "Kenapa aku? Kenapa bisa aku? Kenapa harus aku?"
Aku terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan pertanyaanmu...
Ternyata semakin kupikirkan, malah aku semakin terjebak dalam sekumpulan kata yang kompleks,
dan aku khawatir itu malah tidak menjelaskan tentang apa-apa.


Haruskah beralasan?
Haruskah ada alasannya jika aku berkata, "Kamu orangnya..."....??
Aku rasa tidak.
Sama seperti kau dan sepedamu...
Mungkin sensasinya akan sama seperti ketika kau mengayuhnya dengan kecepatan tinggi, melawan laju angin, menembus batasan tertentu, dan mencapai garis finish.
Perasaan itu hanya bisa dirasakan.
Susah bagiku untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya.
Lagipula sesuatu yang beralasan itu bukan tidak mungkin akan ditinggalkan jika sudah tidak relevan lagi.
Kemudian akhirnya aku hanya berkata, "Yang hanya perlu kau tahu adalah KAU-LAH ORANGNYA..."



Rabu, 25 Juli 2012

Gadis di Balik Pintu


Tok... Tok... Tok...
Aku mendengar suara itu. Sayup-sayup kudengar. Itu suara ketukan pintu. Ya, suara ketukan pintu, tidak salah lagi. Kembali kurasakan ketakutan yang sama. Aku takut untuk mendekati pintu itu, aku terlalu takut untuk tahu siapa yang mengetuknya, dan aku juga terlalu takut untuk membiarkan “si pengetuk pintu” itu pergi, persis seperti sebelum-sebelumnya. Jadi kuputuskan untuk membiarkan “si pengetuk pintu” itu terus mengetuk pintunya, sampai nanti ia akan kelelahan dan pergi dengan sendirinya, tanpa aku perlu tahu siapa yang mengetuk pintu itu, sehingga aku tak perlu merasakan kekecewaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Lagipula aku tahu, pintu itu memang tak akan pernah dibuka sampai “waktunya” tiba.
Tok... Tok... Tok...
Hey, ternyata “si pengetuk pintu” itu belum pergi juga. Kulirik jam dinding yang tergantung, ini sudah jam kedua baginya sejak pertama kali ia mengetuk pintu. Ternyata ia “tamu” yang cukup keras kepala. Ataukah ada sesuatu yang membuatnya yakin bahwa akan ada yang membukakan pintu untuknya? Baiklah, sepertinya aku harus turun tangan. Kali ini aku melupakan ketakutanku, kuputuskan untuk berjalan menuju depan, menuju pintu itu. Kali ini “si pengetuk pintu” itu berhasil membuatku penasaran.
Aku berjalan pelan mendekati pintu. Pelan, sangat pelan, sampai tak terdengar suara langkah kakiku. Kini aku sudah memegang daun pintunya, telapak tanganku menempel erat, seperti berusaha merasakan sesuatu yang ada di balik daun pintu ini.
Tok... Tok... Tok...
Lagi, pintu ini diketuk lagi. Aku tersentak. Kulepaskan peganganku dari daun pintu. Kali ini aku berjalan pelan menuju jendela, karena hanya lewat jendela-lah aku bisa mengetahui siapa “si pengetuk pintu” itu. Hanya lewat jendela-lah aku bisa memandang indahnya dunia luar tanpa perlu merasakannya. Sempat aku merasa bahwa ini sangat aneh dan tidak adil, tapi hanya inilah satu-satunya cara agar aku tetap bisa berhubungan dengan dunia tanpa perlu menyentuhnya –dan tanpa perlu menunggu pintu itu dibuka tentunya.
Kini aku sudah berada di jendela. Tangan ini siap membuka tirai putih yang menutupnya. Perlahan kusingkap tirai itu, lalu mataku langsung tertuju ke arah depan pintu. Kulihat sesosok yang terlihat tak asing, ia masih berdiri di depan pintu, masih dengan posisi siap untuk mengetuk lagi.
Kau... Ya, itu kau. Sosok pria sempurna yang hanya bisa kupandangi lewat jendela kaca saja. Tanganku tak bisa menyentuhmu, ada jarak di antara kita. Padahal aku sangat ingin berada di dekatmu, memandang wajahmu, berbicara denganmu, dan mendengar suaramu. Tapi sayang, pintu itu tidak akan dibuka sampai “waktunya” tiba –dan aku tak pernah tahu kapan “waktu” itu akan tiba.
“Hey, bisakah kau bukakan pintunya? Aku ingin masuk...,” tiba-tiba kudengar suara itu. Aku baru sadar kalau kau sudah berdiri di depan jendela, tepat di depanku. Takjub, aku tak percaya aku berada begitu dekat denganmu, hanya sebuah kaca yang membatasi kita.
“Hey, apa kau dengar?” tanyamu lagi. Aku tersentak dari rasa takjub. Kali ini raut wajahku berubah, tak secerah sebelumnya. Kau pun menyadari perubahan itu. Kau heran. “Kenapa? Ada apa?” aku masih bisa mendengar suaramu.
“Tidak bisa. Aku tidak bisa membuka pintunya,” jawabku pelan sambil menatap tepat di matamu. Andai kau bisa membaca arti dari tatapanku. Andai kau tahu bagaimana perasaanku berada di posisi ini, berada di dekatmu,  bisa melihatmu, bisa mendengarmu, tapi tak bisa menyentuhmu. Sungguh tersiksa.
“Kenapa?” tanyamu kaget. Mendengar pertanyaanmu itu membuatku semakin tersiksa. Kututup tirai lalu pergi meninggalkan jendela itu. Aku berjalan menuju pintu, lalu duduk bersimpuh menghadap ke arah pintu itu. Lagi, kusentuh daun pintu itu. Telapak tanganku kembali meraba setiap bagiannya, seolah merasakan bahwa kau ada di baliknya.
“Aku tahu, kau pasti masih berada di balik pintu ini, dan aku yakin kau pasti bisa mendengarku,” ucapmu dari balik pintu.
Ya, tentu. Aku mendengarmu. Aku merasakan keberadaanmu di balik pintu ini. Bicaralah agar aku bisa merasa dekat denganmu.
“Sebenarnya ada apa? Kenapa kau tidak bisa membuka pintu ini? Bukankah itu hal yang sangat mudah? Atau jangan-jangan memang kau tak ingin membukakannya untukku?” tanyamu dengan nada tinggi.
“Kau bicara apa? Tentu saja aku sangat ingin membukakan pintu ini untukmu, sangat ingin,” jawabku lirih.
“Lalu tadi mengapa kau mengatakan bahwa kau tidak bisa membukanya?” tanyamu lagi. Kali ini nada bicaramu melunak.
“Apa kau ingin mendengarnya?”
“Bicaralah... Aku mendengarkanmu dari sini...”
Kini aku duduk bersandar di pintu. Aku bisa merasakan punggungmu, aku merasa seperti sedang bersandar di punggungmu. Apakah mungkin kau juga memang sedang bersandar di pintu ini?
“Dulu pintu ini selalu terbuka, siapapun bisa keluar masuk sesuka hati mereka tanpa ada yang melarang. Sampai suatu ketika, sang pemegang kunci pintu ini pergi “ke atas sana”. Sebelum pergi, sang pemegang kunci menitipkan kunci kepada istrinya. Ia berpesan, ‘Jangan pernah membiarkan pintu ini terbuka. Bukalah jika waktunya nanti telah tiba.’ Lalu sampai sekarang pintu ini selalu terkunci, tanpa pernah tahu kapan “waktunya” tiba dan akhirnya pintu ini akan dibuka.”
“Sebenarnya siapa pemilik kunci pintu ini?” tanyamu dengan nada bingung. Aku bisa membayangkan raut wajahmu yang kebingungan itu. Pasti sangat mempesona. Karena aku selalu terpesona denganmu, apapun dan bagaimanapun raut wajahmu.
“Ayahku,” jawabku pelan.
“Lalu, si pemegang kunci pintu ini... sekarang...”
“Ibuku...”
Hening. Tak ada suara. Kau terdiam. Aku pun terdiam, kali ini aku yang seperti kehabisan akal, kehilangan kata-kata seperti orang kebingungan.
“Sebenarnya kau bukan orang pertama yang bertanya seperti itu. Dulu pernah ada beberapa yang mengalami kejadian ini, lalu semuanya berakhir sama, mereka pergi meninggalkanku perlahan, sementara aku masih berdiri di balik pintu ini, masih menatap mereka dari jendela kaca. Mereka yang berjalan menjauh itu tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi aku, si gadis di balik pintu yang selalu kecewa. Kecewa karena orang-orang yang berusaha mendekat, perlahan-lahan menjauh. Mereka menjauh karena mereka tidak bisa masuk, ya tentu saja karena pintu ini dikunci. Aku kecewa karena hanya bisa menatap dan mendengar suara mereka tanpa bisa menyentuh mereka. Aku tidak tahu sampai kapan akan terus seperti ini.”
Dan lalu kemudian, tanpa perlu diperintah, ada air yang meluncur segera dengan sendirinya, membasahi pipi, tanpa bisa dikendalikan lagi...
“Hey, kau menangis?” tanyamu seolah tahu apa yang sedang kurasakan.
“Meski aku menangis beribu kali pun, pintu ini tidak akan dibuka.”
“Mengapa kau begitu menginginkan pintu ini dibuka? Bukankah dengan begini saja cukup?”
Aku tertegun mendengar ucapanmu barusan. “Bukankah tadi kau juga menginginkannya? Bukankah kau juga ingin masuk?”
“Ya, tentu aku ingin masuk. Tapi jika memang pintu ini belum boleh dibuka, itu berarti aku memang belum boleh masuk. Kurasa keputusan ibumu untuk tetap mengunci pintu ini adalah keputusan yang tepat. Ibumu tidak ingin kau mengenal orang yang salah.”
“Lalu bagaimana aku bisa tahu bahwa orang yang kukenal itu tepat atau salah, sedangkan pintu ini saja selalu tertutup?”
“Lihat mereka yang sudah pergi meninggalkanmu. Jika salah satu dari mereka adalah orang yang tepat, tidak bisakah mereka bersabar menunggu sampai pintu ini terbuka?”
Kata-katamu barusan, apa maksudnya? Apakah itu artinya kau adalah orang yang tepat? Kuharap memang begitu, karena sampai saat ini hanya kau yang paling kunanti untuk kujumpai.
“Hey kau, gadis di balik pintu. Ini hanya masalah waktu. Bersabarlah menunggu sampai waktu itu tiba. Ketika waktunya tiba, pintu ini akan dibuka oleh sang pemegang kunci, dan kau akan merasa bahwa semuanya memang tepat.”
“Dan kau, pria di balik pintu, apakah kau akan tetap berada di balik pintu itu sampai waktunya tiba? Akankah kau tetap menunggu hingga nanti tiba waktunya kau boleh masuk?”
Hening. Lagi-lagi hening. Kau tidak menjawabku. Ada apa lagi? Apakah itu artinya bahkan kau pun juga bukan orang yang tepat? Kali ini aku berlari menuju jendela, kusingkap tirai putih itu, lalu kulihat ke arah pintu. Kau tak ada. Ternyata kau sudah melangkah, perlahan menjauhi pintu itu. Oh tidak, aku tak ingin berakhir seperti ini lagi. Tolong, kali ini saja, aku tak ingin berakhir sama seperti sebelum-sebelumnya.
“Tunggu...!!” teriakku dari balik jendela kaca. “Jangan pergi....”
Langkahmu terhenti. Kau membalikkan tubuhmu, lalu matamu menatap tepat di mataku. Perlahan kau berjalan mendekati jendela kaca ini, kau berjalan mendekatiku lagi. Kau menempelkan telapak tanganmu ke kaca jendela, begitu pula denganku, hingga telapak tangan kita bertemu. Kini kita begitu dekat, bahkan lebih dekat, hanya dipisahkan oleh kaca tipis.
“Tolong, hapus air matamu,” ucapmu lirih.
“Tolong, jangan pergi,” dalam keadaan seperti ini mana bisa aku berhenti menangis. Aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi.
“Hey, aku hanya ingin pulang. Kau jangan khawatir, besok aku akan kembali lagi menemuimu di sini.”
“Benarkah?” semoga aku tidak salah dengar. Semoga ini bukan mimpi.
“Ya, tentu. Jika besok aku berhalangan datang, masih ada hari esok berikutnya, dan begitu seterusnya. Kita masih bisa terus bertemu, berbicara seperti ini, dari balik jendela kaca ini maupun saling duduk bersandar di balik pintu seperti tadi.”
Aku tersenyum. Ternyata tadi kau memang bersandar di pintu, dan aku bersandar di punggungmu dari balik pintu itu.
“Apa kau bisa bersabar menunggu sampai aku datang lagi besok?” tanyamu lagi.
“Apa kau akan bersabar menunggu sampai waktunya tiba? Apa kau akan bersabar menunggu sampai pintu itu dibuka?” aku balik bertanya.
Kau hanya diam, menatapku sambil tersenyum. “Yakin saja esok kau masih bisa melihatku di sini, dan yakinkan juga esok kau masih bisa mendengar suaraku di sini. Hari ini, esok, dan seterusnya, sampai akhirnya waktunya tiba dan pintu itu dibuka, kau akan melihat aku berdiri di sini.”
“Semoga.”
Kini aku tersenyum. Kali ini tidak berakhir seperti biasanya. Aku melepas kepergianmu dengan senyum. Baru kali ini aku melepas kepergian seseorang dengan senyuman. Semoga saja apa yang kau katakan tadi itu benar adanya.
Kadang aku berpikir bahwa sang pemegang kunci begitu egonya, sengaja mengunci pintu itu agar aku tak bisa mengenal siapapun. Sempat juga aku berpikir bahwa ia memang sengaja mengunciku karena aku memang tak boleh mengenal siapapun. Tapi semua yang kau katakan tadi akhirnya membuka pikiranku. Benar. Sang pemegang kunci pasti sedang menilai dan menimbang siapa orang yang tepat untukku. Seseorang yang tepat untukku adalah orang sabar yang tetap ada di depan pintu dari awal sampai nanti waktunya tiba dan pintu itu dibuka. Ya, dan kuharap kaulah orangnya. Kuharap kaulah orang pertama yang akan kujumpai ketika pintu itu dibuka.