Tok...
Tok... Tok...
Aku mendengar suara
itu. Sayup-sayup kudengar. Itu suara ketukan pintu. Ya, suara ketukan pintu,
tidak salah lagi. Kembali kurasakan ketakutan yang sama. Aku takut untuk
mendekati pintu itu, aku terlalu takut untuk tahu siapa yang mengetuknya, dan
aku juga terlalu takut untuk membiarkan “si pengetuk pintu” itu pergi, persis
seperti sebelum-sebelumnya. Jadi kuputuskan untuk membiarkan “si pengetuk
pintu” itu terus mengetuk pintunya, sampai nanti ia akan kelelahan dan pergi
dengan sendirinya, tanpa aku perlu tahu siapa yang mengetuk pintu itu, sehingga
aku tak perlu merasakan kekecewaan yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Lagipula aku tahu, pintu itu memang tak akan pernah dibuka sampai “waktunya”
tiba.
Tok...
Tok... Tok...
Hey, ternyata “si
pengetuk pintu” itu belum pergi juga. Kulirik jam dinding yang tergantung, ini
sudah jam kedua baginya sejak pertama kali ia mengetuk pintu. Ternyata ia
“tamu” yang cukup keras kepala. Ataukah ada sesuatu yang membuatnya yakin bahwa
akan ada yang membukakan pintu untuknya? Baiklah, sepertinya aku harus turun
tangan. Kali ini aku melupakan ketakutanku, kuputuskan untuk berjalan menuju
depan, menuju pintu itu. Kali ini “si pengetuk pintu” itu berhasil membuatku
penasaran.
Aku berjalan pelan
mendekati pintu. Pelan, sangat pelan, sampai tak terdengar suara langkah
kakiku. Kini aku sudah memegang daun pintunya, telapak tanganku menempel erat,
seperti berusaha merasakan sesuatu yang ada di balik daun pintu ini.
Tok...
Tok... Tok...
Lagi, pintu ini diketuk
lagi. Aku tersentak. Kulepaskan peganganku dari daun pintu. Kali ini aku
berjalan pelan menuju jendela, karena hanya lewat jendela-lah aku bisa
mengetahui siapa “si pengetuk pintu” itu. Hanya lewat jendela-lah aku bisa
memandang indahnya dunia luar tanpa perlu merasakannya. Sempat aku merasa bahwa
ini sangat aneh dan tidak adil, tapi hanya inilah satu-satunya cara agar aku
tetap bisa berhubungan dengan dunia tanpa perlu menyentuhnya –dan tanpa perlu
menunggu pintu itu dibuka tentunya.
Kini aku sudah berada
di jendela. Tangan ini siap membuka tirai putih yang menutupnya. Perlahan
kusingkap tirai itu, lalu mataku langsung tertuju ke arah depan pintu. Kulihat
sesosok yang terlihat tak asing, ia masih berdiri di depan pintu, masih dengan
posisi siap untuk mengetuk lagi.
Kau... Ya, itu kau.
Sosok pria sempurna yang hanya bisa kupandangi lewat jendela kaca saja.
Tanganku tak bisa menyentuhmu, ada jarak di antara kita. Padahal aku sangat
ingin berada di dekatmu, memandang wajahmu, berbicara denganmu, dan mendengar
suaramu. Tapi sayang, pintu itu tidak akan dibuka sampai “waktunya” tiba –dan
aku tak pernah tahu kapan “waktu” itu akan tiba.
“Hey, bisakah kau bukakan
pintunya? Aku ingin masuk...,” tiba-tiba kudengar suara itu. Aku baru sadar
kalau kau sudah berdiri di depan jendela, tepat di depanku. Takjub, aku tak
percaya aku berada begitu dekat denganmu, hanya sebuah kaca yang membatasi
kita.
“Hey, apa kau dengar?”
tanyamu lagi. Aku tersentak dari rasa takjub. Kali ini raut wajahku berubah,
tak secerah sebelumnya. Kau pun menyadari perubahan itu. Kau heran. “Kenapa?
Ada apa?” aku masih bisa mendengar suaramu.
“Tidak bisa. Aku tidak
bisa membuka pintunya,” jawabku pelan sambil menatap tepat di matamu. Andai kau
bisa membaca arti dari tatapanku. Andai kau tahu bagaimana perasaanku berada di
posisi ini, berada di dekatmu, bisa
melihatmu, bisa mendengarmu, tapi tak bisa menyentuhmu. Sungguh tersiksa.
“Kenapa?” tanyamu
kaget. Mendengar pertanyaanmu itu membuatku semakin tersiksa. Kututup tirai
lalu pergi meninggalkan jendela itu. Aku berjalan menuju pintu, lalu duduk
bersimpuh menghadap ke arah pintu itu. Lagi, kusentuh daun pintu itu. Telapak
tanganku kembali meraba setiap bagiannya, seolah merasakan bahwa kau ada di
baliknya.
“Aku tahu, kau pasti
masih berada di balik pintu ini, dan aku yakin kau pasti bisa mendengarku,”
ucapmu dari balik pintu.
Ya, tentu. Aku
mendengarmu. Aku merasakan keberadaanmu di balik pintu ini. Bicaralah agar aku
bisa merasa dekat denganmu.
“Sebenarnya ada apa?
Kenapa kau tidak bisa membuka pintu ini? Bukankah itu hal yang sangat mudah?
Atau jangan-jangan memang kau tak ingin membukakannya untukku?” tanyamu dengan
nada tinggi.
“Kau bicara apa? Tentu
saja aku sangat ingin membukakan pintu ini untukmu, sangat ingin,” jawabku
lirih.
“Lalu tadi mengapa kau
mengatakan bahwa kau tidak bisa membukanya?” tanyamu lagi. Kali ini nada
bicaramu melunak.
“Apa kau ingin
mendengarnya?”
“Bicaralah... Aku
mendengarkanmu dari sini...”
Kini aku duduk
bersandar di pintu. Aku bisa merasakan punggungmu, aku merasa seperti sedang
bersandar di punggungmu. Apakah mungkin kau juga memang sedang bersandar di
pintu ini?
“Dulu pintu ini selalu
terbuka, siapapun bisa keluar masuk sesuka hati mereka tanpa ada yang melarang.
Sampai suatu ketika, sang pemegang kunci pintu ini pergi “ke atas sana”.
Sebelum pergi, sang pemegang kunci menitipkan kunci kepada istrinya. Ia
berpesan, ‘Jangan pernah membiarkan pintu ini terbuka. Bukalah jika waktunya
nanti telah tiba.’ Lalu sampai sekarang pintu ini selalu terkunci, tanpa pernah
tahu kapan “waktunya” tiba dan akhirnya pintu ini akan dibuka.”
“Sebenarnya siapa
pemilik kunci pintu ini?” tanyamu dengan nada bingung. Aku bisa membayangkan
raut wajahmu yang kebingungan itu. Pasti sangat mempesona. Karena aku selalu
terpesona denganmu, apapun dan bagaimanapun raut wajahmu.
“Ayahku,” jawabku
pelan.
“Lalu, si pemegang
kunci pintu ini... sekarang...”
“Ibuku...”
Hening. Tak ada suara.
Kau terdiam. Aku pun terdiam, kali ini aku yang seperti kehabisan akal,
kehilangan kata-kata seperti orang kebingungan.
“Sebenarnya kau bukan
orang pertama yang bertanya seperti itu. Dulu pernah ada beberapa yang
mengalami kejadian ini, lalu semuanya berakhir sama, mereka pergi
meninggalkanku perlahan, sementara aku masih berdiri di balik pintu ini, masih
menatap mereka dari jendela kaca. Mereka yang berjalan menjauh itu tak pernah
tahu bagaimana rasanya menjadi aku, si gadis di balik pintu yang selalu kecewa.
Kecewa karena orang-orang yang berusaha mendekat, perlahan-lahan menjauh.
Mereka menjauh karena mereka tidak bisa masuk, ya tentu saja karena pintu ini
dikunci. Aku kecewa karena hanya bisa menatap dan mendengar suara mereka tanpa
bisa menyentuh mereka. Aku tidak tahu sampai kapan akan terus seperti ini.”
Dan lalu kemudian,
tanpa perlu diperintah, ada air yang meluncur segera dengan sendirinya,
membasahi pipi, tanpa bisa dikendalikan lagi...
“Hey, kau menangis?”
tanyamu seolah tahu apa yang sedang kurasakan.
“Meski aku menangis
beribu kali pun, pintu ini tidak akan dibuka.”
“Mengapa kau begitu
menginginkan pintu ini dibuka? Bukankah dengan begini saja cukup?”
Aku tertegun mendengar
ucapanmu barusan. “Bukankah tadi kau juga menginginkannya? Bukankah kau juga
ingin masuk?”
“Ya, tentu aku ingin
masuk. Tapi jika memang pintu ini belum boleh dibuka, itu berarti aku memang
belum boleh masuk. Kurasa keputusan ibumu untuk tetap mengunci pintu ini adalah
keputusan yang tepat. Ibumu tidak ingin kau mengenal orang yang salah.”
“Lalu bagaimana aku
bisa tahu bahwa orang yang kukenal itu tepat atau salah, sedangkan pintu ini
saja selalu tertutup?”
“Lihat mereka yang
sudah pergi meninggalkanmu. Jika salah satu dari mereka adalah orang yang
tepat, tidak bisakah mereka bersabar menunggu sampai pintu ini terbuka?”
Kata-katamu barusan,
apa maksudnya? Apakah itu artinya kau adalah orang yang tepat? Kuharap memang
begitu, karena sampai saat ini hanya kau yang paling kunanti untuk kujumpai.
“Hey kau, gadis di
balik pintu. Ini hanya masalah waktu. Bersabarlah menunggu sampai waktu itu
tiba. Ketika waktunya tiba, pintu ini akan dibuka oleh sang pemegang kunci, dan
kau akan merasa bahwa semuanya memang tepat.”
“Dan kau, pria di balik
pintu, apakah kau akan tetap berada di balik pintu itu sampai waktunya tiba?
Akankah kau tetap menunggu hingga nanti tiba waktunya kau boleh masuk?”
Hening. Lagi-lagi
hening. Kau tidak menjawabku. Ada apa lagi? Apakah itu artinya bahkan kau pun
juga bukan orang yang tepat? Kali ini aku berlari menuju jendela, kusingkap
tirai putih itu, lalu kulihat ke arah pintu. Kau tak ada. Ternyata kau sudah
melangkah, perlahan menjauhi pintu itu. Oh tidak, aku tak ingin berakhir
seperti ini lagi. Tolong, kali ini saja, aku tak ingin berakhir sama seperti
sebelum-sebelumnya.
“Tunggu...!!” teriakku
dari balik jendela kaca. “Jangan pergi....”
Langkahmu terhenti. Kau
membalikkan tubuhmu, lalu matamu menatap tepat di mataku. Perlahan kau berjalan
mendekati jendela kaca ini, kau berjalan mendekatiku lagi. Kau menempelkan
telapak tanganmu ke kaca jendela, begitu pula denganku, hingga telapak tangan
kita bertemu. Kini kita begitu dekat, bahkan lebih dekat, hanya dipisahkan oleh
kaca tipis.
“Tolong, hapus air
matamu,” ucapmu lirih.
“Tolong, jangan pergi,”
dalam keadaan seperti ini mana bisa aku berhenti menangis. Aku tidak ingin
kehilangan seseorang lagi.
“Hey, aku hanya ingin
pulang. Kau jangan khawatir, besok aku akan kembali lagi menemuimu di sini.”
“Benarkah?” semoga aku
tidak salah dengar. Semoga ini bukan mimpi.
“Ya, tentu. Jika besok
aku berhalangan datang, masih ada hari esok berikutnya, dan begitu seterusnya.
Kita masih bisa terus bertemu, berbicara seperti ini, dari balik jendela kaca
ini maupun saling duduk bersandar di balik pintu seperti tadi.”
Aku tersenyum. Ternyata
tadi kau memang bersandar di pintu, dan aku bersandar di punggungmu dari balik
pintu itu.
“Apa kau bisa bersabar
menunggu sampai aku datang lagi besok?” tanyamu lagi.
“Apa kau akan bersabar
menunggu sampai waktunya tiba? Apa kau akan bersabar menunggu sampai pintu itu
dibuka?” aku balik bertanya.
Kau hanya diam,
menatapku sambil tersenyum. “Yakin saja esok kau masih bisa melihatku di sini,
dan yakinkan juga esok kau masih bisa mendengar suaraku di sini. Hari ini,
esok, dan seterusnya, sampai akhirnya waktunya tiba dan pintu itu dibuka, kau
akan melihat aku berdiri di sini.”
“Semoga.”
Kini aku tersenyum.
Kali ini tidak berakhir seperti biasanya. Aku melepas kepergianmu dengan
senyum. Baru kali ini aku melepas kepergian seseorang dengan senyuman. Semoga
saja apa yang kau katakan tadi itu benar adanya.
Kadang aku berpikir
bahwa sang pemegang kunci begitu egonya, sengaja mengunci pintu itu agar aku
tak bisa mengenal siapapun. Sempat juga aku berpikir bahwa ia memang sengaja
mengunciku karena aku memang tak boleh mengenal siapapun. Tapi semua yang kau
katakan tadi akhirnya membuka pikiranku. Benar. Sang pemegang kunci pasti
sedang menilai dan menimbang siapa orang yang tepat untukku. Seseorang yang
tepat untukku adalah orang sabar yang tetap ada di depan pintu dari awal sampai
nanti waktunya tiba dan pintu itu dibuka. Ya, dan kuharap kaulah orangnya.
Kuharap kaulah orang pertama yang akan kujumpai ketika pintu itu dibuka.