“jangan sembunyi,
kumohon padamu jangan sembunyi, sembunyi dari apa yang terjadi, tak seharusnya
hatimu kau kunci....” –lumpuhkanlah ingatanku, geisha–
aku masih berlari, terus berlari, berlari dalam gelap,
sendirian. berlari sekuat tenaga, berlari sejauh-jauhnya aku mampu berlari.
gelap yang menyelimuti tak membuatku takut, malah membuatku aman. semakin gelap
maka aku semakin aman. dalam kegelapan yang mencekam ini aku bersembunyi,
kesendirian ini yang menemani.
sampai akhirnya aku mulai merasa lelah. aku berhenti. sesaat
aku melirik ke kanan dan kiri. ternyata masih gelap yang kulihat, aku masih
dapat bersembunyi. lalu aku mulai duduk, kuluruskan kakiku, kuatur lagi nafasku
yang tersengal-sengal, dan kuseka keringatku dengan lengan baju.
“jangan sembunyi,
kumohon padamu jangan sembunyi, sembunyi dari apa yang terjadi, tak seharusnya
hatimu kau kunci....”
sial, lagi-lagi suara itu terngiang, seolah-olah berada
tepat di belakangku. sudah sejauh apa aku berlari? kurasa sudah cukup jauh,
tapi mengapa suara itu seolah-olah masih mengejarku?
aku berdiri lagi, kemudian aku melanjutkan berlari lagi.
sepertinya masih terlalu dekat, masih belum cukup jauh untuk pergi. baiklah,
aku akan pergi lebih jauh lagi, lebih jauh lagi, dan lebih jauh lagi, agar aku
tak perlu mendengar suara itu lagi.
BRUUUKK...!!
ah, sial! karena gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa.
kakiku membentur sesuatu, kemudian aku terjatuh. aku terpejam sesaat, dan
ketika kubuka mata barulah aku sadar kalau tadi aku hanya sedang bermimpi. terjatuh
dari tempat tidur berhasil menyadarkanku dari mimpi yang menyeramkan itu. entah
aku harus bersyukur atau kecewa karena sudah terbangun, tapi jujur, ternyata mimpi tadi sama melelahkannya dengan
berlari maraton mengelilingi stadion sepakbola.
aku berusaha bangkit berdiri dari lantai dan duduk lagi di
tempat tidur. kutarik selimut lagi, kemudian meringkuk lagi di kasur empuk ini.
sesaat mataku tertuju pada ponselku yang sengaja kuletakkan jauh dariku, dan
sengaja tak kuaktifkan nada deringnya. dalam hati ini cukup tergoda untuk
mengambilnya, namun aku tak bergeming. biarlah dulu untuk sementara ponsel itu
berada di situ sampai nanti aku berniat mengambilnya.
“jangan bersembunyi
dari peristiwa ini, kumohon...”
siaaaaal...!! suara itu masih saja terngiang. hey, tolong,
aku hanya ingin tenang. sebentar saja. tolong jangan ganggu aku dulu. simpan
saja dulu semuanya sampai nanti waktunya tiba. untuk saat ini sudah cukup.
sudah cukup aku tersiksa.
hahaa, aku sudah seperti orang gila. lihat wajahku, mungkin
sudah menyerupai zombie. tidur tak
tenang, makan tak lahap, tekanan darah rendah, sakit maag kambuh, dan sekarang hanya terkapar di ranjang. ibuku sedih
melihat keadaanku seperti ini, dan adik-adikku hanya bisa geleng-geleng kepala
melihatku. tak bosan-bosannya mereka bergantian bertanya, “mau sampai kapan kamu
terus-terusan begini?”. ya, dan aku sendiri pun tidak tahu akan sampai kapan
aku akan seperti ini.
aku kembali membuka laci meja kecil di samping tempat
tidurku, mencari obat itu. ya, itu memang obat dari dokter. katanya itu obat
untuk menaikkan tekanan darahku, tapi sepertinya bukan. sepertinya ini obat
penenang, dan sepertinya sudah membuatku cukup kecanduan selama satu minggu
ini. kutenggak sebutir obat itu, lalu kemudian aku berbaring lagi. berusaha
untuk tidur lagi.
kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 11.00. tapi cuaca
di luar sedang mendung, sangat mendukung untuk tidur lagi. sayangnya kali ini
obatnya cukup lambat bereaksi, aku belum merasakan mengantuk. dan aku benci
saat-saat seperti ini, saat dimana seharusnya aku sudah tertidur, tapi aku
malah mengenang masalah itu lagi.
“20 panggilan tak terjawab, 10 pesan masuk.”
suara dwi membuyarkan lamunanku. aku mengalihkan pandanganku
padanya. kapan dia masuk ke kamarku? dan sejak kapan dia berdiri di dekat
lemari itu? dan sekarang dia sedang memegang ponselku.
“dari siapa” tanyaku datar.
“tio.”
aku diam. membisu.
“mau diapakan?” tanya dwi lagi.
“diamkan saja. dan taruh lagi handphone-ku disitu.”
dwi meletakkan kembali ponselku di tempat semula.
“kenapa nggak coba kamu angkat, mbak? sekali saja.”
aku masih tetap diam.
“mau sampai kapan kamu begini terus? ini sudah hari ke
tujuh. ”
dwi mengulang pertanyaan itu lagi, dan aku masih tetap diam.
“kalau kamu nggak dengerin penjelasannya, gimana kamu bisa
tahu? masalahmu nggak akan pernah selesai mbak.”
“sudah ceramahnya?” tanyaku pelan, namun cukup ketus. “kalau
sudah, kamu boleh keluar, aku mau tidur.”
“mbak, sudah tujuh hari kamu cuma makan, mandi, minum obat,
dan tidur. tapi nggak ada perubahan sama sekali. aku tuh peduli sama mbak, aku
nggak mau mbak terus-terusan begini cuma gara-gara cowok itu.”
“dwi, aku belum siap.”
“lalu mau sampai kapan?”
“apa kamu nggak bosan nanya itu terus?”
“mbak, aku....”
“iya, aku tahu. tapi tolong, aku mau istirahat.”
dwi menyerah. perlahan dia keluar dari kamarku dan menutup
pintunya. kutarik lagi selimutku sampai menutupi wajahku. kemarin, kemarin, dan
kemarinnya lagi aku pasti sudah menangis, tapi hari ini tak ada lagi air mata.
mungkin sudah mengering. dan sekarang sepertinya obat dari dokter baru
bereaksi. mataku semakin berat, dan akhirnya aku mulai terpejam. aku memang
ingin berlari dan bersembunyi, tapi kuharap mimpi kali ini tak perlu melelahkan
lagi.