welcome to the page

welcome to the page

Senin, 29 Juli 2013

Cerita Hari Ini...

dalam waktu kurang dari 24 jam hari ini, ada tiga hal yang cukup membuatku takjub. awalnya memang risih, namun sepanjang perjalanan hari ini aku berusaha merangkumnya menjadi hal yang cukup menarik. merangkainya dalam suatu kalimat yang lucu dan pada akhirnya malah menjadi sesuatu yang indah. setidaknya, bila mengingatnya aku malah menjadi termotivasi...

  1. kesalahan selalu diselubungi dengan sesuatu yang manis, sehingga lebih menarik untuk dilakukan. sedangkan kebenaran selalu diselubungi dengan kepahitan sehingga enggan untuk dilakukan. akan tetapi, kesalahan tetaplah kesalahan, dan kebenaran tetaplah kebenaran. jadi, pilih yang mana? *hmm, aku pilih makan pare aja* #eh?
  2. bayangan, kemanapun kakimu melangkah, dia akan selalu mengikuti. kau berlari, bayangan pun mengejar. kau bersembunyi, bayangan hanya tak terlihat sesaat, ketika kau muncul maka bayangan akan di dekatmu lagi. kau tak akan mungkin jauh dari bayanganmu, maka berdamailah dengan bayanganmu. *oke, damai...* #yakin?
  3. hey, kuliah sudah libur, ngapain masih lembur....??? cepat tidur...!!! *hahaa, aku hanya merasa dunia ini milikku ketika berada sendirian di sunyinya malam, sehingga aku sering lupa waktu* #oke, ubah yang satu ini.

great...!!! ini akan jadi pelajaran berharga. ini bonus dari Tuhan, dalam sehari ada tiga pembelajaran yang kuterima. thanks God, You are AMAZING...!!!

 

Jumat, 26 Juli 2013

Jangan Sembunyi... (part 5, selesai)



“dulu kau yang mengajari aku bagaimana caranya untuk mencintai lagi, kau bangkitkan rasa yang dulu kukubur mati, kau datangkan lagi rasa yang kubiarkan pergi... lalu kini kau pula yang menghancurkannya lagi. untuk apa kau bangkitkan jika pada akhirnya kau bunuh lagi?”

*****

satu bulan berlalu, kulalui masa-masa sulit itu. masa-masa proses memaafkan, masa-masa proses mengikhlaskan, masa-masa proses melupakan. sebenarnya nyaris bisa, tapi ternyata cukup sulit. aku merasa seperti masih terus dibayang-bayangi olehnya.
bayangkan saja, mbak nia bilang dia masih saja suka menanyakan kabarku. sesekali dia masih suka mengirimkan pesan singkat padaku, ya sesekali kubalas, namun terkadang masih tak kutanggapi. yang lebih menjengkelkannya lagi, bahkan di beranda facebook-ku pun namanya selalu terpampang nyata...

tio dewantoro (tambahkan sebagai teman)

menyebalkan, sangat menyebalkan...!!!

*****

brrrrrt... brrrrrtt... brrrrrrttt...

ponselku bergetar kuat sekali, sampai-sampai mejanya ikut bergetar. aku yang sedang berada di dapur bahkan bisa mendengarnya. aku segera berlari menuju kamar dan meraih ponselku. kulihat layarnya. lagi-lagi harus diam terpaku menatap nama yang muncul di layar. tio dewantoro.

angkat, jangan, angkat, jangan, jangan angkat, angkat aja.... suara hati bergejolak, bimbang, galau. harus kuangkat atau jangan. oke, angkat saja. hadapi secara dewasa.

“halo...”

“hai, apa kabarmu?”

“yah, beginilah.”

“lagi sibuk ya?”

“nggak juga.”

“kamu nggak kerja?”

“nggak, lagi libur.”

“hmmm, yang....”

deg! jantungku berdegup lagi. mengapa dia masih memanggilku dengan sebutan itu lagi?

“hey, kan aku sudah pernah bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi.”

“segitu bencinya ya kamu sama aku?”

“lho, aku nggak bilang benci kan? aku cuma bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. itu aja.”

“aku ini nggak mau punya musuh, yang.”

“sama, aku juga. makanya, tolong ngertiin perasaan aku. apa kata temen-temenmu nanti kalo mereka dengar?”

“kan aku manggilnya nggak di depan mereka, yang. cuma kalo lagi berdua aja.”

“tio, tolonglah, ngertiin perasaan aku. inget, kita ini udah selesai, udah nggak bisa sama kayak dulu lagi.”

“tapi kita masih temenan kan?”

aku menghela nafas. kalau caranya masih sama seperti dulu, bagaimana bisa aku menganggapnya sebagai teman? pertemanan bisa berjalan seperti biasa kalau dia bisa menghargai aku, setidaknya tentang panggilan “sayang”itu. harusnya dia sadar kalau panggilan itu sudah tidak bisa dipakai lagi. itu sama saja menggoreskan luka baru, sementara luka yang lama belum sembuh.

“hmm, oke... jika kamu yang tidak bisa pergi dari hidupku dan jika memang aku tak perlu lari dari hidupmu, mungkin menerima keadaan dan tetap berjalan seperti biasa adalah satu-satunya cara... lagipula kita hanya manusia biasa, yang tak tahu kalau akhirnya akan jadi seperti ini... hmm, kita bisa mulai dengan panggilan awal lagi... kamu panggil aku "mbak", dan aku panggil kamu "adek"... gimana...??”

aku menawarkan sesuatu yang mungkin bisa memperbaiki keadaan.

“aku nggak bisa....”

“ayolah, harus bisa.... dulu waktu pertama kali kita ketemu dan kenal kan juga panggilannya gitu,” kali ini aku yang memaksa. kali ini aku tidak mau mengalah.

“hmm, okelah.... mbak...” terdengar berat saat dia memanggilku dengan panggilan awal.

ya, sudah selayaknya dia memanggilku “mbak”, dan sudah sepantasnya aku memanggilnya “adek”. banyak yang bilang bahwa perbedaan usia bukanlah masalah, namun bagiku ini cukup bermasalah. it’s complicated. aku berperang dengan diri sendiri dan dengan ego orang lain. di satu sisi aku memang masih menyimpan sedikit rasa sayang padanya, tapi di sisi lain aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi bersamanya. dia masih terlalu muda, pemikirannya belum cukup dewasa. aku tak akan lagi rela mengorbankan hatiku hanya untuk dipermainkan oleh anak kecil seperti dia. ya, dia adikku, dia lebih cocok jadi adikku. tak perlu lebih.
tak perlu sembunyi lagi, inilah kenyataan yang harus dihadapi.... (30042013-15062013)

Jangan Sembunyi... (part 4)


“jadi sekarang, apa yang ingin kau jelaskan?”

aku membuka pembicaraan. sebenarnya aku tak ingin apa-apa lagi, aku hanya ingin sudahi saja semuanya lalu segera menjauh darinya, namun sepertinya dia sengaja mengulur-ulur waktuku.

“jangan buru-buru, aku masih kangen sama kamu.”

“kamu masih bisa ngomong begitu setelah semua yang terjadi?”

“tapi jujur, aku memang kangen sama kamu, sayang.”

astaga, masih berani dia memanggilku “sayang”? demi apa? anak ini benar-benar menjengkelkan, rasanya hatiku seperti ditikam lagi mendengarnya.

“bisakah kamu mengubah panggilan itu? nggak seharusnya kamu manggil aku dengan sebutan itu lagi.”

“kenapa? nggak boleh ya? kamu udah nggak sayang lagi sama aku?”

“bukan begitu. tolong hargai perasaanku. pikirkan juga perasaannya. panggilan itu harusnya cuma untuk dia, bukan untukku.”

“tapi aku udah terlanjur sayang sama kamu, yang.”

“oke, jadi sekarang apa yang ingin kau jelaskan? aku tanya sekali lagi.”

suasana sedikit memanas. emosiku memuncak setelah melihat sikapnya yang masih saja seperti itu, seperti tidak terjadi apa-apa. padahal jelas-jelas sedang ada masalah besar.

“selama seminggu aku berusaha menghubungi kamu, tapi nggak kamu tanggapi. selama seminggu aku selalu nyari kamu di kampus, tapi kamu nggak datang. aku selalu tanya ke temen-temenmu, ke mbak nia, mbak tera, bahkan ke adikmu, dwi. tapi jawaban mereka selalu sama, kamu nggak mau diganggu. kamu selalu saja menghindar dari aku, memangnya masalah kita bakal selesai kalo kamu ngindar terus? sembunyi terus? aku nggak mau ganggu kamu, yang. aku cuma khawatir sama kamu. aku masih mikirin perasaan kamu. aku tahu gimana sakitnya hati kamu. aku sama sekali nggak ada niat untuk nyakitin kamu, nggak sama sekali. tapi kamu inget kan, waktu itu aku sudah pernah kasih tahu ke kamu, tapi kamu masih aja.....”

“oooh, jadi kamu mau nyalahin aku? oke, memang aku salah. aku sudah tahu kalo kamu sudah ada yang punya, tapi aku masih aja nekat bertahan. iya, harusnya waktu itu aku nggak perlu dengerin kamu, harusnya waktu itu kita langsung sudahi saja. jadi aku nggak perlu terima caci-maki dari pacarmu satu minggu yang lalu. dan sekarang, aku harus terima kalau aku terlihat seperti orang bodoh di depan teman-temanmu. mereka tahu semuanya kan? iya kan? mereka tahu kalo aku cuma ‘korban’mu tapi nggak ada satu pun yang ngasih tahu.”

“iya, yang. aku tahu. aku salah... maafin aku...”

aku terdiam lagi, mengatur nafas yang tersengal-sengal karena terbawa emosi. ya Tuhan, beginikah rasanya menghadapi pria tipe seperti ini? aku harus mengalah, selalu mengalah, lagi dan lagi. harus punya ekstra sabar.

“aku juga minta maaf. aku memang bodoh, selama ini aku terlalu mudah percaya dengan semua omonganmu, semua gombalanmu... maaf...”

“sudah yang, sudah. semuanya sudah jelas kan sekarang?”

“iya, sudah jelas.”

“jadi sekarang bagaimana?”

“jadi sekarang, kita sudah selesai.”

aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air mataku di hadapannya, dan Tuhan mengabulkan permohonanku. aku bertahan untuk menyelesaikannya, dan akhirnya selesailah sudah.
kutinggalkan dia di kantin, aku segera pergi dari tempat itu. dulu, 30 april 2013, semuanya berawal. kini, 15 juni 2013, semuanya berakhir. sangat singkat, namun banyak kenangan yang terukir, banyak cerita yang tertulis. dan dari sikapnya yang mengecewakanku, aku masih menghargai kejujurannya. setidaknya, hal yang mengecewakan itu aku tahu dari dirinya sendiri, bukan dari orang lain. dan lalu kini, hanya satu yang ada di pikiranku, bagaimana ke depannya nanti? semester berikutnya ketika nanti harus berjumpa lagi, masih bisakah biasa-biasa saja seperti awal bertemu? entah, tak ada yang bisa menjamin hal itu. aku masih butuh waktu lagi untuk mengikhlaskan semuanya. semuanya butuh proses, aku harus belajar lagi.

“dulu kau yang mengajari aku bagaimana caranya untuk mencintai lagi, kau bangkitkan rasa yang dulu kukubur mati, kau datangkan lagi rasa yang kubiarkan pergi... lalu kini kau pula yang menghancurkannya lagi. untuk apa kau bangkitkan jika pada akhirnya kau bunuh lagi?”

Kamis, 25 Juli 2013

Jangan Sembunyi... (part 3)



dengan perasaan was-was, aku berjalan melintasi koridor kampus. tujuanku hanya satu, ke bagian administrasi, menyelesaikan biaya untuk semester depan, lalu secepatnya pulang. aku tidak mau berlama-lama di sini, masih berusaha menghindar dari dia.

“Ina...!!”

terdengar suara seseorang dari belakang menjerit memanggil namaku, dan aku sudah bisa menebak itu suara siapa.

“mbak nia...!!”

“astaga, akhirnya kamu muncul juga. rasanya lama banget nggak ngeliat kamu. apa kabar? kemarin-kemarin cuma bisa nanyain keadaanmu lewat dwi aja. mau nengok ke rumahmu, tapi dwi bilang kamu nggak mau nemuin siapa-siapa.”

“sekarang udah mendingan mbak.”

“syukurlah kalau udah mendingan. aku sama tera khawatir banget sama keadaanmu. jadi gimana? udah selesai masalah kalian?”

aku menghela nafas, sudah kuduga, arah pembicaraan pasti akan ke situ. tapi wajar, sebagai seorang sahabat, mbak nia pasti ingin tahu kronologisnya. dengan berat, kuajak mbak nia ke kantin, kemudian kuceritakan semuanya.

“hmm, ada baiknya sekarang memang kamu mengindar dulu. pikiranmu belum sepenuhnya tenang. dan ini juga sebagai pelajaran buat dia, biar dia mikir, merenungi kesalahannya. dia pikir dia siapa? bisa seenaknya mempermainkan perasaanmu begitu?”

kali ini mbak nia ikut kesal mendengar ceritaku.

“yaa, akunya juga salah sih. sudah tahu dia begitu, tapi masih aja nekat. dan sekarang yang jadi masalah, temen-temennya tahu tentang itu, tapi mereka diem aja. mereka nggak ada yang ngasih tahu aku. dan aku terlihat seperti orang bodoh di depan mereka. sekarang apa? kalau mereka melihatku, mungkin di mata mereka aku ini seperti sampah, rendahan, atau apapun lah...”

“nggak kok in, aku rasa mereka nggak mau kasih tahu ke kamu karena mereka nggak tega dan kasihan sama kamu. mereka pengen kamu tahu sendiri. dan sekarang, akhirnya kamu tahu sendiri kan?”

“iya, aku tahu sendiri, langsung dari orangnya.”

brrrrt... brrrrrrt... brrrrtt...

tiba-tiba ponselku bergetar, segera kuraih dari saku jeans-ku. ternyata ada pesan masuk. betapa kagetnya aku ketika kubuka dan kubaca isinya.

akhirnya kamu datang... dan aku bisa memandang jelas wajahmu dari sini... aku rindu kamu, ina...

“kenapa in?”

“ada sms mbak.”

“dari siapa?”

“dia. dia ada di sini.”

“tio?”

aku diam saja, tapi mataku celingukan ke kanan dan kiri, mencari sosok makhluk bernama tio itu. sial! aku tidak bisa menemukan dia, terlalu ramai di kantin ini. tapi mengapa dia bisa melihatku? sebenarnya ada di mana dia sekarang?

“mbak, sebaiknya kita keluar sekarang.”

“kenapa?”

“aku takut mbak, aku belum siap ketemu dia sekarang.”

“oh, oke... oke... ayo kita keluar dari sini.”

aku langsung menghabiskan minumanku, lalu berdiri dan bersiap meninggalkan kantin. namun ketika aku membalikkan badan, betapa kagetnya aku karena tiba-tiba ada seseorang yang sedang berdiri di belakangku.

“tio?”

jantungku serasa hampir melompat keluar.

“in, sepetinya tio mau bicara. aku tinggal aja ya, biar kalian enak ngobrolnya.”

kutarik lengan mbak nia, “mbak kok nggak bilang kalo dia di belakangku?” bisikku.

“ina, nggak ada salahnya kamu coba dengerin dulu apa maunya. aku di luar, kalo ada apa-apa tinggal telpon, oke? good luck...

astaga! sekarang aku bisa apa? tinggal aku berdua dengannya. mungkin memang, kali ini aku tidak bisa bersembunyi lagi. masalah memang tidak bisa dihindari, melainkan dihadapi. baiklah, mari kita atur nafas.

“kamu kemana aja seminggu ini, in? aku nyariin kamu...”

dan aku hanya diam, menatapnya datar, nyaris tanpa ekspresi. padahal di dalam hati, dada ini bergemuruh, hancur sehancur-hancurnya. ya Tuhan, tolong beri aku kekuatan untuk menghadapi makhluk ini, makhluk yang dulu mengajariku bagaimana caranya mencintai lagi, namun sekarang malah menghancurkannya. Tuhan, jangan biarkan aku sendirian. aku tak sanggup.

Jangan Sembunyi... (part 2)


“kamu di mana?”

“hey, kamu di mana? aku kangen, pengen ketemu...”

“tolong angkat dulu telponnya...”

“aku minta maaf yang kemarin, aku bisa jelaskan...”

“hey, tolong, angkat dulu telponnya, biar aku jelaskan...”

“jangan bersembunyi dari peristiwa ini, kumohon...”

“aku tahu, ini salahku, tolong, izinkan aku bicara dulu...”

dan masih banyak lagi pesan singkat darinya. akhirnya setelah hari kesembilan, barulah aku bernyali mengambil dan melihat isi ponselku lagi. ternyata benar apa yang dwi bilang, berpuluh-puluh panggilan tak terjawab darinya, berpuluh-puluh pesan masuk darinya. apakah sekali ini harus kuangkat telpon darinya? ah, aku masih belum siap.

celakanya, besok aku harus ke kampus untuk mengurus administrasi semester depan. aku takut besok bertemu dengannya. sialnya lagi, urusan administrasi ini tidak bisa diwakilkan. aku bingung harus bagaimana besok.

“sudahlah mbak, kalau besok ketemu ya dihadapi saja.”

dwi ini sudah seperti ninja saja. seringkali muncul tiba-tiba di kamarku tanpa suara.

“ragil mana? sudah pulang?”

“sudah, itu dia lagi mandi.”

“oh, kupikir belum pulang.”

“jangan mengalihkan pembicaraan.”

aku terdiam. dwi juga sudah seperti seorang grandmaster catur, sering juga aku dibuatnya skak mat.

“jadi bagaimana? sudah siap kan menghadapi hari esok yang lebih cerah?”

“hmm?” aku menaikkan alis, bingung dengan pertanyaan dwi.

“obat dari dokter sudah habis, dan kulihat hari ini kesehatanmu sudah membaik. ibu bilang juga kamu seharusnya sudah keluar dari kamar. sudah sembilan hari mbak, temen-temenmu udah nanyain terus tuh di kampus.”

“kamu ketemu mereka?”

“wah, aku sampe bosen mbak. tiap baru nyampe kampus, mereka langsung mencegatku di parkiran. termasuk makhluk satu itu.”

“siapa?”

 “you-know-who... dia yang namanya tak boleh di sebut.”

“udah kayak voldemort aja.”

“kan kamu sendiri yang bilang kemarin mbak, katanya kamu nggak mau denger namanya disebut?”

“iya, iya... memangnya dia nanya apa?”

“dia nanyain kabarmu.”

aku diam lagi.

“sudahlah mbak. hadapi saja besok. besok kan sama aku juga. kalo memang kamu belum siap ketemu dia, temen-temenmu juga pasti nemenin kamu, dia pasti nggak berani deketin kamu. temen-temenmu udah tahu kok masalah kalian, jadi mereka nggak akan ngebiarin dia ganggu kamu dulu.”

“kamu cerita ke temen-temenku tentang masalahku dan tio?”

“cuma ke mbak nia dan mbak tera. lagian temen-temenmu juga udah tahu siapa dia sebenernya, jauh sebelum aku cerita.”

“hmmm, okelah kalau begitu. makasih ya dwi. kamu emang adek yang paling the best.”

“sama-sama mbak. udah malem, makan dulu yuk. ibu masak kangkung tuh.”

“iya, kamu duluan sana, nanti aku nyusul.”

sedikit ada perasaan tenang sekarang. setidaknya besok banyak yang akan melindungi aku. aku memang ingin mendengarkan penjelasan darinya, tapi bukan sekarang. untuk saat ini, apa yang aku tahu sudah cukup jelas. sudah tidak ada alasan lagi untuk dia tetap mengejarku. aku butuh waktu untuk menenangkan diri setelah semua yang terjadi. setelah semuanya tenang, mungkin baru aku bisa menerima semua penjelasannya.

Jangan Sembunyi... (part 1)



“jangan sembunyi, kumohon padamu jangan sembunyi, sembunyi dari apa yang terjadi, tak seharusnya hatimu kau kunci....” –lumpuhkanlah ingatanku, geisha–

aku masih berlari, terus berlari, berlari dalam gelap, sendirian. berlari sekuat tenaga, berlari sejauh-jauhnya aku mampu berlari. gelap yang menyelimuti tak membuatku takut, malah membuatku aman. semakin gelap maka aku semakin aman. dalam kegelapan yang mencekam ini aku bersembunyi, kesendirian ini yang menemani.

sampai akhirnya aku mulai merasa lelah. aku berhenti. sesaat aku melirik ke kanan dan kiri. ternyata masih gelap yang kulihat, aku masih dapat bersembunyi. lalu aku mulai duduk, kuluruskan kakiku, kuatur lagi nafasku yang tersengal-sengal, dan kuseka keringatku dengan lengan baju.

“jangan sembunyi, kumohon padamu jangan sembunyi, sembunyi dari apa yang terjadi, tak seharusnya hatimu kau kunci....”

sial, lagi-lagi suara itu terngiang, seolah-olah berada tepat di belakangku. sudah sejauh apa aku berlari? kurasa sudah cukup jauh, tapi mengapa suara itu seolah-olah masih mengejarku?
aku berdiri lagi, kemudian aku melanjutkan berlari lagi. sepertinya masih terlalu dekat, masih belum cukup jauh untuk pergi. baiklah, aku akan pergi lebih jauh lagi, lebih jauh lagi, dan lebih jauh lagi, agar aku tak perlu mendengar suara itu lagi.

BRUUUKK...!!

ah, sial! karena gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa. kakiku membentur sesuatu, kemudian aku terjatuh. aku terpejam sesaat, dan ketika kubuka mata barulah aku sadar kalau tadi aku hanya sedang bermimpi. terjatuh dari tempat tidur berhasil menyadarkanku dari mimpi yang menyeramkan itu. entah aku harus bersyukur atau kecewa karena sudah terbangun, tapi jujur,  ternyata mimpi tadi sama melelahkannya dengan berlari maraton mengelilingi stadion sepakbola.

aku berusaha bangkit berdiri dari lantai dan duduk lagi di tempat tidur. kutarik selimut lagi, kemudian meringkuk lagi di kasur empuk ini. sesaat mataku tertuju pada ponselku yang sengaja kuletakkan jauh dariku, dan sengaja tak kuaktifkan nada deringnya.  dalam hati ini cukup tergoda untuk mengambilnya, namun aku tak bergeming. biarlah dulu untuk sementara ponsel itu berada di situ sampai nanti aku berniat mengambilnya.

“jangan bersembunyi dari peristiwa ini, kumohon...”

siaaaaal...!! suara itu masih saja terngiang. hey, tolong, aku hanya ingin tenang. sebentar saja. tolong jangan ganggu aku dulu. simpan saja dulu semuanya sampai nanti waktunya tiba. untuk saat ini sudah cukup. sudah cukup aku tersiksa.

hahaa, aku sudah seperti orang gila. lihat wajahku, mungkin sudah menyerupai zombie. tidur tak tenang, makan tak lahap, tekanan darah rendah, sakit maag kambuh, dan sekarang hanya terkapar di ranjang. ibuku sedih melihat keadaanku seperti ini, dan adik-adikku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatku. tak bosan-bosannya mereka bergantian bertanya, “mau sampai kapan kamu terus-terusan begini?”. ya, dan aku sendiri pun tidak tahu akan sampai kapan aku akan seperti ini.

aku kembali membuka laci meja kecil di samping tempat tidurku, mencari obat itu. ya, itu memang obat dari dokter. katanya itu obat untuk menaikkan tekanan darahku, tapi sepertinya bukan. sepertinya ini obat penenang, dan sepertinya sudah membuatku cukup kecanduan selama satu minggu ini. kutenggak sebutir obat itu, lalu kemudian aku berbaring lagi. berusaha untuk tidur lagi.

kulihat jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 11.00. tapi cuaca di luar sedang mendung, sangat mendukung untuk tidur lagi. sayangnya kali ini obatnya cukup lambat bereaksi, aku belum merasakan mengantuk. dan aku benci saat-saat seperti ini, saat dimana seharusnya aku sudah tertidur, tapi aku malah mengenang masalah itu lagi.

“20 panggilan tak terjawab, 10 pesan masuk.”

suara dwi membuyarkan lamunanku. aku mengalihkan pandanganku padanya. kapan dia masuk ke kamarku? dan sejak kapan dia berdiri di dekat lemari itu? dan sekarang dia sedang memegang ponselku.

“dari siapa” tanyaku datar.

“tio.”

aku diam. membisu.

“mau diapakan?” tanya dwi lagi.

“diamkan saja. dan taruh lagi handphone-ku disitu.”

dwi meletakkan kembali ponselku di tempat semula.

“kenapa nggak coba kamu angkat, mbak? sekali saja.”

aku masih tetap diam.

“mau sampai kapan kamu begini terus? ini sudah hari ke tujuh. ”

dwi mengulang pertanyaan itu lagi, dan aku masih tetap diam.

“kalau kamu nggak dengerin penjelasannya, gimana kamu bisa tahu? masalahmu nggak akan pernah selesai mbak.”

“sudah ceramahnya?” tanyaku pelan, namun cukup ketus. “kalau sudah, kamu boleh keluar, aku mau tidur.”

“mbak, sudah tujuh hari kamu cuma makan, mandi, minum obat, dan tidur. tapi nggak ada perubahan sama sekali. aku tuh peduli sama mbak, aku nggak mau mbak terus-terusan begini cuma gara-gara cowok itu.”

“dwi, aku belum siap.”

“lalu mau sampai kapan?”

“apa kamu nggak bosan nanya itu terus?”

“mbak, aku....”

“iya, aku tahu. tapi tolong, aku mau istirahat.”

dwi menyerah. perlahan dia keluar dari kamarku dan menutup pintunya. kutarik lagi selimutku sampai menutupi wajahku. kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi aku pasti sudah menangis, tapi hari ini tak ada lagi air mata. mungkin sudah mengering. dan sekarang sepertinya obat dari dokter baru bereaksi. mataku semakin berat, dan akhirnya aku mulai terpejam. aku memang ingin berlari dan bersembunyi, tapi kuharap mimpi kali ini tak perlu melelahkan lagi.