welcome to the page

welcome to the page

Selasa, 31 Desember 2013

Cerita Di Kala Hujan (Part 3)

hujan belum tiba, tapi matahari enggan menampakkan silaunya. seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya, aku berkeliling kompleks untuk memantau pekerjaan mereka. progress yang cukup baik, pekerjaan mereka juga semakin meningkat. dalam hati ada kepuasan tersendiri. ini akan jadi hadiah akhir tahun yang menyenangkan. aku tersenyum kecil lalu perlahan mempercepat laju motorku.

tapi sayang, kegembiraanku tak berlangsung lama. saking bahagianya, aku lengah dan kurang memperhatikan jalan. mendekati persimpangan, aku lupa membunyikan klakson dan tidak menurunkan kecepatan motorku. akibatnya, tak terelakkan lagi, sebuah motor dari arah kiri melaju sama kencangnya dan menabrakku dari samping. spontan aku menginjak rem dalam-dalam, tapi terlambat. terlanjur terjadi benturan yang cukup keras. kurasa sang pengendara motor itu juga tak sempat menginjak remnya. aku tidak sampai terpental, tapi ternyata motor kami malah saling berkait. aku kaget, kemudian langsung menoleh ke arah sang pengendara motor itu. ternyata laki-laki. ia lantas membuka helmnya dan langsung memelototiku.

"eh mbak, kalo bawa motor tuh hati-hati!"

"mas nya juga gak hati-hati!"

"mbak, bisa bawa motor gak sih?!"

"lho, trus kalo gak bisa bawa motor, itu tadi saya ngapain?"

"mbak ini jangan-jangan SIMnya nembak ya?"

"emang mas nya ini lulus tes apa? paling nembak juga!"

"eh mbak, udah salah masih ngotot!"

"sekarang coba lihat posisi motor kita, ini siapa yang nabrak siapa?"

"kalo mbak gak ngebut, gak mungkin saya nabrak!"

"lho, emang mas nya gak ngerasa ngebut ya?"
aku dan sang pengendara motor itu terlibat dalam adu mulut hebat. tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang mulai menontoni kami yang sedang beradu argumen. tidak ada salah satu dari kami yang mau mengalah, tak ada yang mau disalahkan. padahal baik aku maupun pengendara motor itu sama-sama salah. tapi itulah manusia, selalu merasa paling benar. manusiawi kan?

sepuluh menit berlalu tanpa ada penyelesaian. sakit sampai tak kurasakan lagi. aku dan pengendara motor itu terus saja berdebat. sampai akhirnya ada seseorang yang datang berusaha menengahi. dan tak pernah kuduga, kau yang kebetulan lewat di lokasi tempat kejadian perkara, memilih mampir dan menjadi pahlawan untuk menyelesaikan semuanya.

"sudah mas, kalau ribut begini terus gak akan selesai. gini aja, mending mas bawa motor mas ke bengkel depan itu, nanti saya perbaiki. saya montir di sana. mas tenang aja, gak usah bayar, biar nanti saya yang tanggung biayanya."

"gak usah sok jadi pahlawan sama mbak ini. dia salah, dia yang gak liat-liat lagi. pokoknya dia harus tanggung jawab."

"lho, saya kan udah menawarkan bantuan, mas. saya udah mau bertanggung jawab memperbaiki motor mas secara gratis lho. lagian mas apa gak kasihan? dia ini cewek, masak mas tega sih?"

"kamu ini, kok mati-matian belain dia sih? emang kamu siapanya dia? sok kepahlawanan segala!"

"saya kakaknya. kenapa? salah kalau saya bela adik saya? sudah mas, sekarang mas tinggal pilih, saya perbaiki motornya secara gratis, atau mas pulang dengan motor yang babak belur begitu?"

"hmmm...."

"jangan kelamaan mikir, sebelum saya berubah pikiran. kalau mas setuju, silahkan bawa motor mas ke bengkel di depan situ, nanti sore bisa mas ambil lagi."

"okelah..."
aku hanya terdiam menyaksikan peristiwa barusan. tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirku. masih tak percaya, kau datang, kau mengaku sebagai kakakku, dan membelaku, bahkan rela tidak dibayar demi menanggung kesalahanku. padahal baru setengah bulan yang lalu kita saling bercerita tentang tempat tinggal kita (baca: baru mulai akrab). hey, kau, tolong tampar aku, aku tidak sedang bermimpi kan?

"hey, kamu gak papa?"

"eh? iya kak, gak papa..."

"bohong! itu kenapa?"
kau menunjuk ke arah dengkul kiriku. astaga! ternyata berdarah, masih mengalir cukup deras. anehnya, tadi aku tidak merasakan apa-apa. tapi setelah kulihat darahnya, barulah aku merasakan sakit yang luar biasa.

"ayo ikut aku, kita ke klinik."

"motorku?"

"aku udah hubungi temenku, bentar lagi dia kesini, biar dibawa ke bengkel juga."

"makasih ya kak... jadi gak enak, ngerepotin..."

"udah gak papa. ayo jalan sekarang."
lalu kemudian kau memboncengku menggunakan motormu, kau menemaniku ke klinik. di sepanjang perjalanan menuju klinik, kau kembali menjadi dirimu yang diam. tak sepatah kata pun terucap. biasanya aku akan memulai percakapan, tapi kali ini aku memilih untuk diam karena harus menahan sakit. setiba di klinik pun kau tetap diam. kau hanya memandangi aku yang sedang meringis kesakitan ketika perawat mengobati lukaku. bahkan dalam perjalanan mengantarku pulang pun kau masih tetap diam. sumpah, aku benci keadaan ini. akhirnya aku tak tahan dengan "kediaman" ini. aku memutuskan untuk memulai percakapan (lagi dan lagi, seperti biasa).

"kak, terima kasih ya."

"iya, sama-sama."

"malem ini istirahat aja ya kamu, gak usah begadang-begadang."

"begadang? begadang apa?"

"kamu lupa? ini kan malam pergantian tahun..."

"eh, iya ya?"

"makanya jangan keasyikan kerja, sampe gak tahu tanggal lagi..."

"hehee..."
tolong tampar aku lagi, ini nyata kan? ayo, cubit aku....

"aaaw..."

"kenapa? sakit lagi ya?"

"iya kak...."

"tahan ya, bentar lagi sampe..."

"kak..."

"iya, kenapa?"

"gerimis, bentar lagi mau hujan..."

"yah, kalo hujan terpaksa kita berteduh dulu...."

"iya kak..."
kau mengajakku ke salah satu ruko di tepian jalan, kau kemudian memarkirkan motormu di teras ruko yang tertutup. sengaja kau mencari ruko yang tertutup agar bisa memarkirkan motor lebih leluasa. so sweet, ternyata kau sengaja ikut memarkirkan motor di tempat teduh agar aku bisa tetap duduk. ya ampun, aku jadi salah tingkah. dan ajaib, begitu kau selesai memarkir motor, hujan turun dengan lebatnya. kau langsung tersenyum memandangku.

"kenapa kak? kok ketawa?"

"Tuhan baik ya, pas banget kita sampe sini baru turun hujan."

"hujan lagi kak..."

"iya... hmmm, nanti sampe rumah, istirahat ya, biar cepat sembuh..."

"eh?"

"iya, biar nanti jadi kondangan bareng... hehehee..."

"owalah... iya kak, iya...."
*******************

hujan selalu punya cerita...
kau dan aku, kita...
selalu bertemu saat hujan tiba...
ada apa...??
apakah hujan memang takdir kita...??

Cerita Di Kala Hujan (Part 2)


selalu ada cerita di kala hujan...

tadi siang hujan lagi, dan lagi-lagi harus terperangkap di satu keadaan yang tidak mengenakkan. aku yang baru saja selesai membeli minuman kaleng dari minimarket di persimpangan jalan, tidak bisa kembali ke tempat kerja karena hujan yang mengguyur secara tiba-tiba. sementara aku tidak membawa helm, jaket, atau apapun yang bisa kugunakan untuk menutupi kepala. dan akhirnya aku terpaksa berdiri di teras minimarket itu sampai hujan mereda.

tak ada bangku, tak ada gardus, tak ada apapun yang bisa dijadikan tempat duduk. sementara kakiku mulai pegal. akhirnya minuman kaleng yang kubeli itu segera kuhabiskan, kemudian aku menduduki motor milik salah satu karyawan minimarket itu. persetan dengan mereka, yang penting aku bisa duduk. anehnya, kenapa aku hanya sendirian? tidak adakah orang lain yang berbelanja di minimarket ini? dan sialnya, aku mulai kedinginan. aku bersedekap, angin mulai menggoyahkanku, aku semakin mempererat dekapanku.

"udah tahu mau turun hujan, kok gak pake jaket sih?"
tiba-tiba ada seseorang yang menangkupkan jaketnya ke punggungku. suaranya, sepertinya aku kenal. familiar. sangat familiar. suara yang sama, yang terakhir kudengar ketika sama-sama terjebak di dalam mobil itu.

"kakak?"
"kaget gitu..."
"iya, hehee... kirain tadi cuma aku yang belanja di sini."
"aku udah liat kamu dari tadi, tapi kamu gak sadar..."
"lagian kakak gak manggil sih, mana aku tahu..."
"iya juga..."
dan lagi, sesaat kemudian sunyi. hanya terdengar suara hujan yang semakin lama malah semakin deras, deru angin juga menambah dingin suasana. kau masih berdiri di sebelahku, padahal kau bisa saja meninggalkanku karena kau juga mengendarai motor. tapi kau malah menangkupkan jaketmu di punggungku, padahal kau juga kedinginan. ah, seperti sinetron. tapi tidak, ini nyata.

"sini kak, merapat..."

kau malah bengong...

"eh, malah bengong, sini... kakak kedinginan kan? ini, masukin tangannya ke kantong jaket ini... jaket kakak anget kok..."

kau tersenyum, entah karena malu atau salah tingkah. tapi akhirnya mendekat juga. kau memasukkan tangan kananmu ke kantong jaketmu yang sebelah kiri, sedangkan tangan kirimu kau masukkan ke kantong celana. lagi dan lagi, kau diam lagi. kupikir setelah kita saling mengenal, kau akan sedikit lebih "bawel" dari biasanya. tapi ternyata tak ada pengaruhnya. kau lebih suka menikmati keadaan yang semakin dingin dalam kebisuan ketimbang menghangatkan diri dengan celotehan tak bermakna. baiklah, sepertinya harus aku yang memulainya lagi.

"kakak diundang ke resepsi pernikahan anaknya pak bambang?"
"iya... kamu juga?"
"iya, aku juga..."
"oooh..."
"hmmm, nanti kakak pergi sama siapa?"
"paling sama kak nanang."
"oooh, berdua sama kak nanang ya?"
"iya..."
ah, dasar aku bego. jelas saja kau pergi dengan nanang, dia kan sepupumu, rumahnya bersebelahan dengan rumahmu, dan dia juga satu pekerjaan denganmu. jadi sudah pasti kalian akan pergi bersama. "bodoh. sudahlah, jangan berharap dia akan mengajakmu..." bahkan hatiku menyuruhku begitu.

"kamu pergi sama siapa?"
"belum tahu kak. pengen nitip amplop aja, tapi gak enak, pak bambang baik banget sama aku."
"ya udah, bareng aja."
"lho, katanya tadi kakak bareng kak nanang?"
"iya, emang bareng kak nanang, tapi bawa motor masing-masing. gitu."
"ooooh... gitu..."
"jadi gimana? mau bareng?"
"hmm, boleh deh..."
"nanti aku jemput kamu... tenang, 5 menit sampe, aku udah tahu rumahmu, ternyata emang deket banget rumah kita...hehehee..."
oke, kali ini sepertinya kau mulai sedikit "melumer". sudah mulai berani "nge-modus". yah, entah itu hanya sekedar modus atau benar-benar tulus. yang pasti, selalu ada pelangi sehabis hujan...

Senin, 16 Desember 2013

Untuk Dikenang...

tepat pukul 1.00 dini hari, tapi mata ini belum juga ingin terpejam, ia masih gagah terjaga menatapi layar datar di depannya... ia masih belum mau meninggalkan kesunyian, padahal sebentar lagi fajar akan tiba...

perlahan, sayup-sayup, kuputar musik kesayanganku, kudengarkan lewat headset agar tidak mengganggu tidur yang lain. sesaat kuterpejam sambil meresapi bait demi bait lirik lagu ini. ngilu. iya, rasanya ngilu. tidak berdarah memang, namun nyerinya sangat nyata terasa.

pernahkah kau merasakan rindu yang menyerang tiba-tiba, dan bahkan untuk mengungkapkannya pun kau tak tahu harus kemana? iya, begitulah rasanya. hanya bisa belajar untuk menahannya. namun sepertinya saat ini rasa rindu itu tak terbendung lagi, kubiarkan emosi ini terus terbawa, seiring lagu mengalun pelan...

Ingat aku saat kau lewati, jalan ini setapak berbatu....
Kenang aku bila kau dengarkan lagu ini terlantun perlahan...

Barisan puisi ini adalah yang aku punya,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Ingat aku bila kau terasing dalam gelap keramaian kota...

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Doakanlah aku malam ini sebelum kau mengarungi malam...

Barisan puisi ini adalah yang aku punya,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...
Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan,
mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang...

Jumat, 13 Desember 2013

Cerita di Kala Hujan...

Langit mendung, dan hujan masih terus mengguyur bumi...

Waktu itu pagi menjelang siang, tapi matahari masih betah bersembunyi dibalik hujan. Kau datang menghampiri si Tuan, karena si Tuan mengajakmu menemaninya pergi ke suatu tempat, entah kemana. Kebetulan aku ingin pergi keluar, menuju ke persimpangan depan jalan. Hujan membuatku enggan untuk mengendarai motorku sendiri, dan si Tuan pun mengizinkan aku menumpang di mobilnya hingga di persimpangan.

Jujur, aku grogi karena harus satu mobil denganmu. Padahal kau terkenal sangat pendiam, tapi entah kenapa, sudah satu tahun kita terlibat di satu pekerjaan yang sama, masih saja aku belum bisa mengendalikan degup jantungku tiap kali harus berhadapan denganmu. Tapi apa boleh buat, ini satu-satunya jalan agar aku bisa sampai di persimpangan depan. Sekuat tenaga aku berusaha menahan rasa grogi, jangan sampai kau mendengar suara degup jantung ini.

Sampai akhirnya terjadi peristiwa itu. Kita terjebak di dalam satu ruang yang cukup sempit, hanya berdua. Iya, kita terkurung dalam mobil si Tuan. Si Tuan pergi keluar karena ada yang tertinggal. Kita berdua hanya terdiam. Ada jeda waktu yang cukup lama, dan kita malah membiarkan waktu itu lewat begitu saja, tanpa ada sedikitpun niat untuk mengisinya. Tik, tik, tik, waktu berdetik. Tuk, tuk, tuk, suara tetesan hujan mengguyuri atap mobil. Sementara si Tuan masih belum juga kembali, ia meninggalkan kita berdua dengan mesin mobil yang masih menyala. Kau masih saja diam, malah memilih sibuk membalik-balik halaman koran yang sudah kadaluwarsa.

Aku pun mulai jengah, tak tahan dengan situasi ini. Aku tak biasa duduk diam berlama-lama hanya berdua namun tanpa suara. Akhirnya kuputuskan untuk memulai angkat bicara.

"Kak, Kakak tinggal dimana sih?"
"Sukarela."
"Oh, Sukarela, deket rumahku berarti Kak."
"Iya, waktu itu aku pernah lihat kamu di Naskah. Kamu tinggal di Naskah kan? Di mananya?"
"Di Perintis Kak. Waktu itu aku juga pernah lihat Kakak pas ada yang nikahan. Waktu itu aku panitia meja kado. Mau manggil Kakak tapi takut salah orang."
"Kapan?"
"Udah lama sih, kalo nggak salah pas awal tahun."
"Awal tahun ya? Hmm, nikahan siapa ya?"
"Itu lho, yang tentara itu, Mas Agus."
"Oh, iya, iya, inget. Eh iya, kamu alumni SMP 40 bukan sih?"
"Bukan Kak. Emang dulu Kakak di SMP 40?"
"Iya, aku di 40."
"Kakak tamat tahun berapa?"
"Hmm, 2006 kalo gak salah. Iya, 2006."
"Itu tamat SMP?"
"Iya."
"Wah, berarti tamat SMAnya tahun 2009 ya? Sama kayak aku dong."
"Iya, tamat SMAnya 2009."
"Eh, tunggu dulu, tapi Kakak lahir tahun berapa?"
"Tahun '90."
"Oh, lebih tua setahun dari aku."
Tanpa terasa kita sudah mengobrol banyak. Sampai akhirnya si Tuan datang dan memecah obrolan kita. Kita kembali saling diam, tak lagi bersuara, seperti memang obrolan kita sudah habis sampai di situ saja.

Hei, tak kusangka kau begitu ceria ketika kuajak berbicara. Gayamu polos seperti anak kecil. Apalagi ketika kau bertanya, "Kamu alumni SMP 40 bukan?". Kau memegang jok sandaran tempat dudukku sambil memasang tampang antusias, seperti anak kecil yang ingin tahu sesuatu. Kau tahu, senyummu sangat manis waktu itu. Aku masih sangat ingat ekspresi itu.

Aku seperti menemukan sisi lain dari dirimu. Inilah dirimu yang sesungguhnya. Yang selama ini terlihat pendiam ternyata sangat suka bercerita. Yang kukira pendiam ternyata punya senyum cerah dan wajah ceria. Ah, sayang sekali waktu berjalan begitu cepat. Andai masih ada waktu untuk kita, pastilah akan ada banyak cerita di antara kita. Ingin kukatakan, "Hei, Kakak, ternyata kita bertetangga."


"Yang lucu itu yang polos seperti anak-anak, bukan yang kekanak-kanakan..." -Jacob-