“dulu kau yang
mengajari aku bagaimana caranya untuk mencintai lagi, kau bangkitkan rasa yang
dulu kukubur mati, kau datangkan lagi rasa yang kubiarkan pergi... lalu kini
kau pula yang menghancurkannya lagi. untuk apa kau bangkitkan jika pada akhirnya
kau bunuh lagi?”
*****
satu bulan berlalu, kulalui masa-masa sulit itu. masa-masa
proses memaafkan, masa-masa proses mengikhlaskan, masa-masa proses melupakan.
sebenarnya nyaris bisa, tapi ternyata cukup sulit. aku merasa seperti masih
terus dibayang-bayangi olehnya.
bayangkan saja, mbak nia bilang dia masih saja suka
menanyakan kabarku. sesekali dia masih suka mengirimkan pesan singkat padaku,
ya sesekali kubalas, namun terkadang masih tak kutanggapi. yang lebih
menjengkelkannya lagi, bahkan di beranda facebook-ku
pun namanya selalu terpampang nyata...
tio dewantoro (tambahkan sebagai teman)
menyebalkan, sangat menyebalkan...!!!
*****
brrrrrt... brrrrrtt...
brrrrrrttt...
ponselku bergetar kuat sekali, sampai-sampai mejanya ikut
bergetar. aku yang sedang berada di dapur bahkan bisa mendengarnya. aku segera
berlari menuju kamar dan meraih ponselku. kulihat layarnya. lagi-lagi harus
diam terpaku menatap nama yang muncul di layar. tio dewantoro.
angkat, jangan,
angkat, jangan, jangan angkat, angkat aja.... suara hati bergejolak,
bimbang, galau. harus kuangkat atau jangan. oke, angkat saja. hadapi secara
dewasa.
“halo...”
“hai, apa kabarmu?”
“yah, beginilah.”
“lagi sibuk ya?”
“nggak juga.”
“kamu nggak kerja?”
“nggak, lagi libur.”
“hmmm, yang....”
deg! jantungku
berdegup lagi. mengapa dia masih memanggilku dengan sebutan itu lagi?
“hey, kan aku sudah pernah bilang, jangan panggil aku dengan
sebutan itu lagi.”
“segitu bencinya ya kamu sama aku?”
“lho, aku nggak bilang benci kan? aku cuma bilang, jangan
panggil aku dengan sebutan itu lagi. itu aja.”
“aku ini nggak mau punya musuh, yang.”
“sama, aku juga. makanya, tolong ngertiin perasaan aku. apa
kata temen-temenmu nanti kalo mereka dengar?”
“kan aku manggilnya nggak di depan mereka, yang. cuma kalo
lagi berdua aja.”
“tio, tolonglah, ngertiin perasaan aku. inget, kita ini udah
selesai, udah nggak bisa sama kayak dulu lagi.”
“tapi kita masih temenan kan?”
aku menghela nafas. kalau caranya masih sama seperti dulu,
bagaimana bisa aku menganggapnya sebagai teman? pertemanan bisa berjalan
seperti biasa kalau dia bisa menghargai aku, setidaknya tentang panggilan “sayang”itu.
harusnya dia sadar kalau panggilan itu sudah tidak bisa dipakai lagi. itu sama
saja menggoreskan luka baru, sementara luka yang lama belum sembuh.
“hmm, oke... jika kamu yang tidak
bisa pergi dari hidupku dan jika memang aku tak perlu lari dari hidupmu,
mungkin menerima keadaan dan tetap berjalan seperti biasa adalah satu-satunya
cara... lagipula kita hanya manusia biasa, yang tak tahu kalau akhirnya akan
jadi seperti ini... hmm, kita bisa mulai dengan panggilan awal lagi... kamu
panggil aku "mbak", dan aku panggil kamu "adek"...
gimana...??”
aku menawarkan sesuatu yang mungkin
bisa memperbaiki keadaan.
“aku nggak bisa....”
“ayolah, harus bisa.... dulu waktu
pertama kali kita ketemu dan kenal kan juga panggilannya gitu,” kali ini aku
yang memaksa. kali ini aku tidak mau mengalah.
“hmm, okelah.... mbak...” terdengar
berat saat dia memanggilku dengan panggilan awal.
ya, sudah selayaknya dia memanggilku
“mbak”, dan sudah sepantasnya aku memanggilnya “adek”. banyak yang bilang bahwa
perbedaan usia bukanlah masalah, namun bagiku ini cukup bermasalah. it’s complicated. aku berperang dengan
diri sendiri dan dengan ego orang lain. di satu sisi aku memang masih menyimpan
sedikit rasa sayang padanya, tapi di sisi lain aku tidak bisa bertahan lebih
lama lagi bersamanya. dia masih terlalu muda, pemikirannya belum cukup dewasa.
aku tak akan lagi rela mengorbankan hatiku hanya untuk dipermainkan oleh anak
kecil seperti dia. ya, dia adikku, dia lebih cocok jadi adikku. tak perlu
lebih.
tak perlu sembunyi lagi, inilah
kenyataan yang harus dihadapi.... (30042013-15062013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar