“jadi sekarang, apa yang ingin kau jelaskan?”
aku membuka pembicaraan. sebenarnya aku tak ingin apa-apa
lagi, aku hanya ingin sudahi saja semuanya lalu segera menjauh darinya, namun
sepertinya dia sengaja mengulur-ulur waktuku.
“jangan buru-buru, aku masih kangen sama kamu.”
“kamu masih bisa ngomong begitu setelah semua yang terjadi?”
“tapi jujur, aku memang kangen sama kamu, sayang.”
astaga, masih berani dia memanggilku “sayang”? demi apa?
anak ini benar-benar menjengkelkan, rasanya hatiku seperti ditikam lagi
mendengarnya.
“bisakah kamu mengubah panggilan itu? nggak seharusnya kamu
manggil aku dengan sebutan itu lagi.”
“kenapa? nggak boleh ya? kamu udah nggak sayang lagi sama
aku?”
“bukan begitu. tolong hargai perasaanku. pikirkan juga perasaannya.
panggilan itu harusnya cuma untuk dia, bukan untukku.”
“tapi aku udah terlanjur sayang sama kamu, yang.”
“oke, jadi sekarang apa yang ingin kau jelaskan? aku tanya
sekali lagi.”
suasana sedikit memanas. emosiku memuncak setelah melihat
sikapnya yang masih saja seperti itu, seperti tidak terjadi apa-apa. padahal
jelas-jelas sedang ada masalah besar.
“selama seminggu aku berusaha menghubungi kamu, tapi nggak
kamu tanggapi. selama seminggu aku selalu nyari kamu di kampus, tapi kamu nggak
datang. aku selalu tanya ke temen-temenmu, ke mbak nia, mbak tera, bahkan ke
adikmu, dwi. tapi jawaban mereka selalu sama, kamu nggak mau diganggu. kamu
selalu saja menghindar dari aku, memangnya masalah kita bakal selesai kalo kamu
ngindar terus? sembunyi terus? aku nggak mau ganggu kamu, yang. aku cuma
khawatir sama kamu. aku masih mikirin perasaan kamu. aku tahu gimana sakitnya
hati kamu. aku sama sekali nggak ada niat untuk nyakitin kamu, nggak sama
sekali. tapi kamu inget kan, waktu itu aku sudah pernah kasih tahu ke kamu,
tapi kamu masih aja.....”
“oooh, jadi kamu mau nyalahin aku? oke, memang aku salah.
aku sudah tahu kalo kamu sudah ada yang punya, tapi aku masih aja nekat
bertahan. iya, harusnya waktu itu aku nggak perlu dengerin kamu, harusnya waktu
itu kita langsung sudahi saja. jadi aku nggak perlu terima caci-maki dari
pacarmu satu minggu yang lalu. dan sekarang, aku harus terima kalau aku
terlihat seperti orang bodoh di depan teman-temanmu. mereka tahu semuanya kan?
iya kan? mereka tahu kalo aku cuma ‘korban’mu tapi nggak ada satu pun yang
ngasih tahu.”
“iya, yang. aku tahu. aku salah... maafin aku...”
aku terdiam lagi, mengatur nafas yang tersengal-sengal
karena terbawa emosi. ya Tuhan, beginikah rasanya menghadapi pria tipe seperti
ini? aku harus mengalah, selalu mengalah, lagi dan lagi. harus punya ekstra
sabar.
“aku juga minta maaf. aku memang bodoh, selama ini aku
terlalu mudah percaya dengan semua omonganmu, semua gombalanmu... maaf...”
“sudah yang, sudah. semuanya sudah jelas kan sekarang?”
“iya, sudah jelas.”
“jadi sekarang bagaimana?”
“jadi sekarang, kita sudah selesai.”
aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjatuhkan air
mataku di hadapannya, dan Tuhan mengabulkan permohonanku. aku bertahan untuk
menyelesaikannya, dan akhirnya selesailah sudah.
kutinggalkan dia di kantin, aku segera pergi dari tempat
itu. dulu, 30 april 2013, semuanya berawal. kini, 15 juni 2013, semuanya
berakhir. sangat singkat, namun banyak kenangan yang terukir, banyak cerita
yang tertulis. dan dari sikapnya yang mengecewakanku, aku masih menghargai
kejujurannya. setidaknya, hal yang mengecewakan itu aku tahu dari dirinya
sendiri, bukan dari orang lain. dan lalu kini, hanya satu yang ada di
pikiranku, bagaimana ke depannya nanti? semester berikutnya ketika nanti harus
berjumpa lagi, masih bisakah biasa-biasa saja seperti awal bertemu? entah, tak
ada yang bisa menjamin hal itu. aku masih butuh waktu lagi untuk mengikhlaskan
semuanya. semuanya butuh proses, aku harus belajar lagi.
“dulu kau yang
mengajari aku bagaimana caranya untuk mencintai lagi, kau bangkitkan rasa yang
dulu kukubur mati, kau datangkan lagi rasa yang kubiarkan pergi... lalu kini
kau pula yang menghancurkannya lagi. untuk apa kau bangkitkan jika pada akhirnya
kau bunuh lagi?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar