dengan perasaan was-was, aku berjalan melintasi koridor
kampus. tujuanku hanya satu, ke bagian administrasi, menyelesaikan biaya untuk
semester depan, lalu secepatnya pulang. aku tidak mau berlama-lama di sini,
masih berusaha menghindar dari dia.
“Ina...!!”
terdengar suara seseorang dari belakang menjerit memanggil
namaku, dan aku sudah bisa menebak itu suara siapa.
“mbak nia...!!”
“astaga, akhirnya kamu muncul juga. rasanya lama banget
nggak ngeliat kamu. apa kabar? kemarin-kemarin cuma bisa nanyain keadaanmu
lewat dwi aja. mau nengok ke rumahmu, tapi dwi bilang kamu nggak mau nemuin
siapa-siapa.”
“sekarang udah mendingan mbak.”
“syukurlah kalau udah mendingan. aku sama tera khawatir
banget sama keadaanmu. jadi gimana? udah selesai masalah kalian?”
aku menghela nafas, sudah kuduga, arah pembicaraan pasti
akan ke situ. tapi wajar, sebagai seorang sahabat, mbak nia pasti ingin tahu
kronologisnya. dengan berat, kuajak mbak nia ke kantin, kemudian kuceritakan
semuanya.
“hmm, ada baiknya sekarang memang kamu mengindar dulu.
pikiranmu belum sepenuhnya tenang. dan ini juga sebagai pelajaran buat dia,
biar dia mikir, merenungi kesalahannya. dia pikir dia siapa? bisa seenaknya
mempermainkan perasaanmu begitu?”
kali ini mbak nia ikut kesal mendengar ceritaku.
“yaa, akunya juga salah sih. sudah tahu dia begitu, tapi
masih aja nekat. dan sekarang yang jadi masalah, temen-temennya tahu tentang
itu, tapi mereka diem aja. mereka nggak ada yang ngasih tahu aku. dan aku
terlihat seperti orang bodoh di depan mereka. sekarang apa? kalau mereka
melihatku, mungkin di mata mereka aku ini seperti sampah, rendahan, atau apapun
lah...”
“nggak kok in, aku rasa mereka nggak mau kasih tahu ke kamu
karena mereka nggak tega dan kasihan sama kamu. mereka pengen kamu tahu
sendiri. dan sekarang, akhirnya kamu tahu sendiri kan?”
“iya, aku tahu sendiri, langsung dari orangnya.”
brrrrt... brrrrrrt...
brrrrtt...
tiba-tiba ponselku bergetar, segera kuraih dari saku jeans-ku. ternyata ada pesan masuk.
betapa kagetnya aku ketika kubuka dan kubaca isinya.
akhirnya kamu
datang... dan aku bisa memandang jelas wajahmu dari sini... aku rindu kamu,
ina...
“kenapa in?”
“ada sms mbak.”
“dari siapa?”
“dia. dia ada di sini.”
“tio?”
aku diam saja, tapi mataku celingukan ke kanan dan kiri,
mencari sosok makhluk bernama tio itu. sial! aku tidak bisa menemukan dia,
terlalu ramai di kantin ini. tapi mengapa dia bisa melihatku? sebenarnya ada di
mana dia sekarang?
“mbak, sebaiknya kita keluar sekarang.”
“kenapa?”
“aku takut mbak, aku belum siap ketemu dia sekarang.”
“oh, oke... oke... ayo kita keluar dari sini.”
aku langsung menghabiskan minumanku, lalu berdiri dan
bersiap meninggalkan kantin. namun ketika aku membalikkan badan, betapa
kagetnya aku karena tiba-tiba ada seseorang yang sedang berdiri di belakangku.
“tio?”
jantungku serasa hampir melompat keluar.
“in, sepetinya tio mau bicara. aku tinggal aja ya, biar
kalian enak ngobrolnya.”
kutarik lengan mbak nia, “mbak kok nggak bilang kalo dia di
belakangku?” bisikku.
“ina, nggak ada salahnya kamu coba dengerin dulu apa maunya.
aku di luar, kalo ada apa-apa tinggal telpon, oke? good luck...”
astaga! sekarang aku bisa apa? tinggal aku berdua dengannya.
mungkin memang, kali ini aku tidak bisa bersembunyi lagi. masalah memang tidak
bisa dihindari, melainkan dihadapi. baiklah, mari kita atur nafas.
“kamu kemana aja seminggu ini, in? aku nyariin kamu...”
dan aku hanya diam, menatapnya datar, nyaris tanpa ekspresi.
padahal di dalam hati, dada ini bergemuruh, hancur sehancur-hancurnya. ya
Tuhan, tolong beri aku kekuatan untuk menghadapi makhluk ini, makhluk yang dulu
mengajariku bagaimana caranya mencintai lagi, namun sekarang malah
menghancurkannya. Tuhan, jangan biarkan aku sendirian. aku tak sanggup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar